Bolehkah Memakai Jaket Saat Ihram Jika Udara Dingin?
Bismillah, alhamdulilah was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....
Bagi jamaah umrah atau haji, pengalaman mengenakan pakaian ihram seringkali menjadi momen yang penuh kesan. Dua helai kain putih sederhana itu bukan hanya simbol kesucian dan kebersamaan di hadapan Allah ﷻ, tetapi juga ujian kesabaran dalam menghadapi kondisi cuaca yang berbeda-beda.
Sebagian jamaah berangkat di musim panas, diuji dengan teriknya matahari. Sementara yang berangkat di musim dingin, kadang harus bergelut dengan udara malam yang menusuk tulang. Di sinilah muncul pertanyaan praktis: “Apakah boleh memakai jaket atau mantel ketika ihram jika cuacanya sangat dingin?”
Pertanyaan ini wajar sekali, sebab kesehatan adalah bagian penting dalam ibadah. Jangan sampai karena dingin yang berlebihan, tubuh jadi lemah dan ibadah pun terganggu. Namun di sisi lain, kita tentu ingin tetap menjaga adab dan aturan ihram sebagaimana diajarkan Nabi ﷺ.
Aturan Khusus saat Ihram
Ketika ihram, ada aturan khusus dalam berpakaian bagi laki-laki. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā:
يَا رَسُولَ اللهِ، مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ؟
“Wahai Rasulullah, apa yang boleh dipakai orang yang sedang ihram?”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ، وَلَا السَّرَاوِيلَ، وَلَا الْبُرْنُسَ، وَلَا الْخُفَّيْنِ، إِلَّا أَنْ لَا يَجِدَ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
“Orang yang ihram tidak boleh memakai baju gamis, celana panjang, burnus (jubah dengan penutup kepala), dan sepatu (tertutup). Kecuali jika tidak mendapatkan sandal, maka boleh memakai sepatu di bawah mata kaki.”
(HR. Bukhārī no. 5458, Muslim no. 1177)
Lalu bagaimana dengan Jaket?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata:
وَكَذَلِكَ يُبَاحُ أَنْ يَلْتَحِفَ بِالْقَبَاءِ وَالْجُبَّةِ وَالْقَمِيصِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، إِذَا جَعَلَهُ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ لُبْسٍ لَهُ عَلَى الْعَادَةِ
“Boleh bagi orang ihram berselimut dengan jubah, mantel, atau baju, dengan sepakat para imam, selama dipakai dengan cara tidak sebagaimana biasanya (misalnya disampirkan atau dipakai terbalik).”
(Majmū‘ Fatāwā 26/110)
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullāh saat menjelaskan tentang sesuatu yang diharamkan bagi laki-laki yang sedang ihram, dia berkata, "Dia tidak dibolehkan memakai kemeja, imamah (sorban yang dililitkan di kepala), kupluk, celana, khuf (sepatu), kecuali jika dia tidak mendapatkan kain, maka dia boleh memakai celana, atau dia tidak mendapatkan sandal, maka dia boleh memakai sepatu. Dia tidak boleh juga memakai sesuatu yang sama maknanya dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, maka dia tidak boleh memakai mantel, topi, peci, kaos, dan semacamnya."
(Kaifa Yu'addi Al-Muslim Manasikal Haj wal Umrah, hal. 7/8)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimīn ( juga menegaskan:
“Tidak masalah berselimut dengan baju di tubuhnya tanpa memakainya (seperti biasa). Tidak masalah juga menjadikan mantel sebagai selendang jika tidak dipakai sebagaimana lazimnya.”
(Manāsik al-Ḥajj wal-‘Umrah, hlm. 64)
Kesimpulan
- Kalau dipakai seperti biasa (dimasukkan tangan ke jaket, dikancingkan, dll) → hukumnya sama dengan memakai baju/gamis → tidak boleh.
- Tapi kalau dijadikan selimut (disampirkan di bahu atau ditutupkan di tubuh tanpa cara pakai biasa) → boleh, apalagi kalau untuk menepis hawa dingin.
Catatan Penting
- Kalau hanya dingin biasa → cukup diselimuti jaket/mantel tanpa dipakai normal. Ini halal dan tidak ada fidyah.
- Kalau sangat darurat (tidak ada cara lain kecuali benar-benar memakai jaket seperti biasa) → boleh, tapi harus bayar fidyah:
- Menyembelih 1 kambing, atau
- Puasa 3 hari, atau
- Memberi makan 6 orang miskin.
Hal ini berdasar hadits Ka‘b bin ‘Ujrah radhiyallāhu ‘anhu:
فَاحْلِقْ، وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسُكْ نَسِيكَةً
“(Jika terpaksa) maka cukurlah kepalamu, lalu berpuasalah 3 hari, atau beri makan 6 orang miskin, atau sembelih 1 kambing.”
(HR. Bukhārī no. 4190, Muslim no. 1201)
Penutup
Jadi, jamaah yang sedang ihram tetap bisa menjaga kesehatannya ketika cuaca dingin. Gunakan mantel/jaket sebagai selimut atau sampiran, bukan dipakai seperti biasanya. Bila sangat terpaksa harus dipakai normal, maka ada kewajiban fidyah sebagaimana tuntunan syariat.
Wallāhu a‘lam.
Sumber:
(Manāsik al-Ḥajj wal-‘Umrah, Syaikh Mumhammad bin Shalih Al-Utsaimin hlm. 64)
(Majmū‘ Fatāwā 26/110)
Oleh: Abu Haneen
Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc