Memahami Shalat Hajat dalam Timbangan Sunnah

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 03 Oktober 2025, 13:49:03

 

Bismillah, alhamdulilah was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

 

Setiap insan hidup dengan harapan, kebutuhan, dan beban yang berbeda. Ada yang meminta rezeki, ada yang memohon kesembuhan, ada pula yang menginginkan perjalanan ibadahnya diberkahi. Bagi jamaah umrah, momen di Tanah Suci seringkali menjadi saat paling berharga untuk memperbanyak doa.

Namun, muncul pertanyaan yang sering terdengar dari jamaah: “Apakah ada shalat khusus yang disebut shalat hajat? Kalau ada, bagaimana cara melaksanakannya? Dan apakah benar shalat ini bisa menjadi jalan agar doa kita lebih cepat dikabulkan?”

Pertanyaan ini penting, karena setiap amal ibadah dalam Islam harus jelas sandarannya kepada dalil. Ibadah tidak boleh hanya berdasarkan cerita orang atau pengalaman pribadi. Mari kita telusuri riwayat, pendapat para ulama, dan bagaimana sikap yang tepat dalam masalah ini.

 

1. Hadits tentang Shalat Hajat

Riwayat tentang shalat hajat memang disebutkan dalam beberapa kitab hadits. Salah satunya dari Abdullah bin Abu Aufa Radhiyallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

"Barangsiapa memiliki suatu hajat kepada Allah atau kepada salah seorang dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudhu dan memperbagus wudhunya, lalu shalat dua rakaat, kemudian memuji Allah, lalu bershalawat kepada Nabi ﷺ, kemudian ia berdoa:

‘Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia. Mahasuci Allah Rabb Pemilik ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Aku memohon kepada-Mu sebab-sebab rahmat-Mu, keputusan ampunan-Mu, keberuntungan dari setiap kebaikan, dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau tinggalkan untukku dosa kecuali Engkau mengampuninya, tidak pula kesusahan kecuali Engkau melepaskannya, dan tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridai kecuali Engkau menunaikannya, wahai Dzat yang Maha Pengasih dari semua yang pengasih.’"

Sumber Hadits:

  • Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi, no. 479 (Kitab ash-Shalah, Bab shalat hajat).
  • Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, no. 1384 (Kitab iqāmat ash-shalāt, Bab shalat hajat).

At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadza hadītsun gharib” (hadits ini gharib). Dalam sanadnya terdapat Fā’id bin ‘Abdurrahman yang dinilai matrūk al-hadits oleh jumhur ulama.

Sehingga mayoritas muhadditsin menilai hadits ini dha‘if, bahkan sebagian menilai matrūk (ditinggalkan). Syaikh Al-Albani menggolongkan hadis ini sebagai dha’if dalam Da‘īf al-Jāmi‘ (no. 5787) dan Da‘īf Sunan Ibni Majah.

Namun sebagian ulama membolehkan mengamalkannya dalam fadhā’il al-a‘māl, karena doa yang terkandung di dalamnya baik dan sesuai dengan kaidah syar‘i.

 

2. Pandangan Para Ulama

Perbedaan status hadits inilah yang membuat para ulama berbeda pendapat:

1. Tidak ada shalat hajat secara khusus

Mereka berpendapat: karena haditsnya sangat lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk membuat ibadah baru bernama shalat hajat. Termasuk pendapat sebagian ulama hadits kontemporer seperti Syaikh Bin Baz rahimahullah yang mengatakan:

Aku tidak mengetahui adanya hadits yang shahih tentang shalat dengan nama “shalat hajat”. Akan tetapi hal itu dipahami dari firman Allah Ta‘ala:

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al-Baqoroh: 45)

Dan dari hadits:

“Nabi ﷺ apabila menghadapi perkara yang berat, beliau bergegas menuju shalat.”

Serta sabda beliau ﷺ:

“Tidaklah seorang hamba berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian beristighfar dari dosanya, melainkan Allah akan mengampuninya. Tidaklah seorang hamba berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah mengampuninya.”

Artinya, tidak ada dalil shahih yang menegaskan adanya shalat bernama shalat hajat. Yang ada hanyalah anjuran umum untuk meminta pertolongan dengan shalat.

(Fatawa Syaikh BinBaz no. 18257)

2. Sebagian fuqaha menyatakan shalat hajat hukumnya mustahabb (disunnahkan)

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (27/211):

"Para fuqaha sepakat bahwa shalat hajat disunnahkan."

Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebut, meski semuanya dha’if. Namun, ayat:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

"Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat." (QS. Al-Baqarah: 45)

Juga hadits Abu Dawud (1319) dari Hudzaifah:

"Adalah Nabi ﷺ, jika beliau menghadapi suatu urusan, beliau shalat."

Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani.

Artinya, jika seseorang mendapat urusan penting lalu shalat dua rakaat dan berdoa, itu baik. Tapi tidak dengan tata cara tertentu yang dinisbatkan pada shalat hajat, melainkan cukup dengan keumuman ayat dan hadits.

Imam An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’: “Shalat hajat tidak makruh, meski haditsnya lemah. Tidak ada beban (kesulitan) dalam mengerjakannya.”

 

3. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan

1. Tidak boleh menjadikan pengalaman pribadi (tajribah) sebagai dasar hukum syar’i.

Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

"Sunnah tidak bisa ditetapkan hanya dengan pengalaman. Terkabulnya doa tidak menunjukkan bahwa sebabnya sah dari Nabi ﷺ. Bisa jadi Allah mengabulkan doa tanpa wasilah ibadah tertentu, atau itu bentuk istidraj." (Tuhfatuz-Zakirin, hlm. 215).

2. Perkuat doa

Doa adalah senjata terbesar seorang mukmin untuk meraih pertolongan Allah. Banyak ayat yang menekankan hal ini, di antaranya firman Allah ta'ala:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

"Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan untuk kalian." (QS. Ghafir: 60)

Dan juga firmanNya :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ

"Siapakah yang mengabulkan doa orang yang terpaksa bila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan?" (QS. An-Naml: 62)

Dan juga firmanNya :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

"Aku dekat, Aku kabulkan doa orang yang berdoa jika ia berdoa kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)

Juga sabda Nabi ﷺ:

"Seorang hamba paling dekat dengan Rabb-nya ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa." (HR. Muslim, 482).

Maka, perbanyaklah sunnah rawatib, qiyamul lail, witir, doa di waktu mustajab (antara adzan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, dan saat terakhir hari Jumat). Mintalah kepada Allah, karena Dia Maha Dekat dan Maha Mengabulkan.

 

Kesimpulan

  • Tidak ada hadits shahih tentang shalat hajat dengan tata cara tertentu.
  • Jika seseorang shalat sunnah (2 rakaat atau lebih), lalu berdoa kepada Allah memohon kemudahan urusan, ini baik dan sesuai sunnah.
  • Jangan menjadikan pengalaman pribadi sebagai hujjah agama.
  • Perbanyak doa, shalat sunnah, dan ibadah yang shahih tuntunannya.

 

Panduan untuk Jamaah Umrah

Untuk jamaah umrah yang ingin memohon hajat atau kemudahan, berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:

1. Shalat 2 rakaat sunnah.

Tidak perlu niat khusus “shalat hajat”. Cukup shalat sunnah mutlak, tahiyyatul masjid, atau rawatib. Setelah itu, berdoalah sesuai kebutuhan.

2. Perbanyak doa dalam sujud.

Gunakan bahasa Arab atau bahasa sendiri, yang penting hati kita hadir.

3. Pilih tempat dan waktu mustajab.

  • Di Multazam (antara Hajar Aswad dan pintu Ka‘bah).
  • Saat sujud di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.
  • Di waktu sepertiga malam terakhir.
  • Antara adzan dan iqamah.

4. Gunakan doa-doa ma’tsur.

Misalnya doa yang dibacakan dalam riwayat shalat hajat meskipun haditsnya lemah, karena isinya baik. Atau doa lain yang shahih dari Nabi ﷺ, seperti doa menghilangkan kesulitan:

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah, rahmat-Mu yang aku harapkan. Maka janganlah Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata, dan perbaikilah seluruh urusanku. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau.”

(HR. Abu Dawud (no. 5090), dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud.)

Atau doa meinta kebaikan secara umum dunia akhirat:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.”

(QS. Al-Baqarah: 201)

Wallahu ta’ala a’lam bis showab….

 

 

Sumber: 

-Fatawa Syaikh BinBaz no. 18257), al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (27/211), websit: islamqa.

 

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id