Berapa Jarak Safar yang Membolehkan Qashar Shalat?
Dalam Islam, qashar shalat adalah rukhshah (keringanan) bagi musafir, yaitu meringkas shalat wajib yang empat raka'at menjadi dua. Para ulama sepakat bahwa qashar disyariatkan bagi yang sedang safar, namun mereka berbeda pendapat tentang berapa jauh jarak yang menjadikan seseorang dikategorikan musafir.
Artikel ini membahas tiga pendapat utama yang paling masyhur di kalangan ulama mengenai batas minimal jarak safar yang membolehkan qashar. Dengan mengulas dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para imam mazhab, artikel ini memberi pemahaman yang jelas dan sistematis bagi siapa pun yang ingin mengetahui kapan dan dalam kondisi apa saja qashar shalat bisa dilakukan saat bepergian.
Mayoritas ulama sepakat tentang disyariatkannya qashar (meringkas) shalat ketika safar (bepergian jauh). Namun, mereka berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan yang harus ditempuh agar seseorang dapat dianggap musafir sehingga boleh mengqashar shalat. Perbedaan mereka mencakup banyak pendapat, dan yang paling masyhur ada tiga:
1. Pendapat pertama: Seseorang boleh mengqashar shalat jika bepergian sejauh 4 barid (sekitar perjalanan satu hari satu malam dengan kecepatan sedang), yaitu sekitar 85 km.
Ini adalah Pendapat jumhur (mayoritas ulama mazhab).
Dalil:
- Karena safar berpengaruh dalam kebolehan qashar (meringkas shalat) karena adanya kesulitan di dalamnya, maka tempat yang memiliki kesulitan sejenis pun berlaku qashar. Sebagaimana safar membolehkan untuk tidak berpuasa, maka boleh juga qashar di mana saja kesulitan itu terjadi.
- Hadits:
كان ابنُ عمرَ وابنُ عبّاسٍ رضي الله عنهما يُقَصِّرَانِ الصَّلاةَ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ، وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما mengqashar shalat dan berbuka (tidak berpuasa) dalam jarak empat barid, yaitu 16 farsakh.
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara muallaq, dan disahihkan oleh An-Nawawi].
- Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata:
يَا أَهْلَ مَكَّةَ لَا تَقْصُرُوا فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ، مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam perjalanan kurang dari empat barid, dari Makkah ke 'Usfan.”
(Diriwayatkan oleh Thabarani, sanadnya lemah).
Keterangan istilah:
🔹 1. Barīd (البريد)
Definisi: Satuan jarak pos dalam sistem komunikasi dan pengiriman zaman klasik Islam.
Asal makna: Secara bahasa berarti “pengirim pesan”.
Dalam ukuran:
✅ 1 Barīd = 4 Farsakh (فرسخ)
✅ Jadi, 4 Barīd = 16 Farsakh
Estimasi modern:
✅ Satu barīd kira-kira setara 21,25 km, maka 4 barīd ≈ 85 km
🔹 2. Farsakh / Parasang (فرسخ)
Definisi: Ukuran panjang dalam sistem Persia kuno yang diadopsi ke dalam peradaban Islam.
Keterangan klasik:
✅ 1 Farsakh = 3 Mil (ميل)
✅ 1 Mil = ±1,75 km, sehingga
✅ 1 Farsakh = ±5,25 km
Total 16 Farsakh = 16 × 5,25 km = ±84–85 km
🔹 3. Satu Hari Satu Malam (يومٌ و ليلة)
Konsep: Estimasi waktu perjalanan seorang musafir normal (bukan buru-buru atau terlalu lambat), pada zaman Nabi ﷺ.
Kecepatan standar:
✅ Jalan kaki atau naik unta/kuda
✅ Sekitar 40–45 km per siang dan 40 km per malam, tergantung medan dan kondisi
Maka, 1 hari 1 malam ≈ 80–85 km
Kesimpulan pendapat pertama:
Seseorang yang keluar dari kota dengan jarak kurang dari 85 km tidak dianggap musafir dan tidak boleh mengqashar shalat.
2. Pendapat Kedua: Seseorang boleh mengqashar shalat jika bepergian selama 3 hari beserta malamnya.
Ini adalah Pendapat Abu Hanifah dan ulama Kufah.
Dalil:
- Karena safar berpengaruh pada hukum lain seperti dalam pernikahan (perjalanan perempuan tanpa mahram), maka kesulitan yang serupa menetapkan hukum serupa.
- Hadits Ibnu Umar رضي الله عنهما, Nabi ﷺ bersabda:
لَا تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita bepergian tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
ini menjadi penjelas bahwa safar itu berdurasi tiga hari.
- Hadits Ali رضي الله عنه, Nabi ﷺ bersabda:
يُمْسَحُ لِلمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، وَلِلمُقِيمِ يَومٌ وَلَيلَةٌ
“Musafir boleh mengusap (khuf) selama tiga hari tiga malam, dan mukim sehari semalam.”
(HR. Muslim).
Kesimpulan pendapat kedua:
Seseorang yang keluar kota dengan jarak kurang dari 3 hari (jalan kaki) tidak dianggap musafir dan tidak boleh mengqashar shalat.
(Jarak jalan kaki 3 hari 3 malam zaman dahulu bisa berkisar antara 150 km hingga 200 km, tergantung tujuan, medan, dan stamina.)
3. Pendapat Ketiga: Boleh mengqashar shalat untuk setiap perjalanan yang secara ‘urf (kebiasaan masyarakat) disebut sebagai safar, baik dekat maupun jauh, tanpa menetapkan jarak tertentu.
Ini adalah Pendapat Ahlu Dhahir (Dawud Az-Dhahiri, Ibnu Hazm)
Dalil:
- Hadits Anas رضي الله عنه: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّومَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ (أو نِصْفَ الصَّلَاةِ)
"Sesungguhnya Allah telah meringankan dari musafir: puasa dan separuh shalat (qashar).”
(HR. Nasa’i, Ahmad, Thayalisi, Abu Dawud. Dihasankan oleh banyak ulama).
- Ada sekelompok orang bepergian sekitar 17 mil, dari Jubair bin Nufair:
كان نَفَرٌ نَحْوَ السَّبْعَةِ عَشَرَ مِيلًا، فَعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قال: خَرَجْتُ مَعَ شُرَحْبِيلَ بْنِ السِّمْطِ مِنَ السَّمُطِ إِلَى قَرْيَةٍ عَلَى رَأْسِ سَبْعَةَ عَشَرَ مِيلًا، فَصَلَّى الرُّبَاعِيَّ فَرَغَبْتُ، فَقَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ صَلَّى بِنَا بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ، وَقَالَ: إِنِّي فَعَلْتُ كَمَا فَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ يَفْعَلُ
"Aku keluar bersama Syurahbil bin Simt dari As-Sumut ke desa di ujung 17 mil. Ia shalat (shalat empat raka'at) dijamak menjadi dua rakaat. Aku merasa aneh, lalu ia berkata: Aku pernah melihat Umar shalat bersama kami di Dzul Hulaifah dua raka'at, dan ia berkata: Aku melakukannya sebagaimana Nabi ﷺ melakukannya.” (HR. Muslim).
- Keumuman Firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ
"Dan apabila kalian melakukan perjalanan di bumi..."
(QS. An-Nisā’: 101)
Ayat ini tidak menyebutkan jarak tertentu dalam safar.
- Hadits Anas رضي الله عنه:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ رَبْعًا، وَبِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
"Rasulullah ﷺ shalat dhuhur di Madinah empat raka'at dan dua raka'at di Dzul Hulaifah.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Penyebab Perbedaan Pendapat ini adalah:
Pertentangan antara makna rasional (yang dipahami secara logika) tentang safar dengan lafadz hadits seputar jarak safar.
Pendapat yang mukhtar (terpilih):
Pendapat yang insyaAllah mendekati kebenaran adalah pendapat ketiga: "Dibolehkan qashar dalam setiap safar, baik dekat maupun jauh," karena dalil-dalil pendukung pendapat ini lebih kuat dan lebih utama.
Hadits-hadits mengenai safarnya wanita selama tiga hari memiliki banyak riwayat, di antaranya:
- “Perjalanan sehari semalam” (HR. Bukhari dan Muslim),
- Riwayat: “Perjalanan sehari” (HR. Muslim),
- Riwayat: “Perjalanan semalam” (HR. Muslim).
Hadits tentang mengusap khuf (sepatu kulit) datang untuk menjelaskan durasi safar, bukan jarak safar.
Pendapat bahwa safar tidak memiliki batasan jarak adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibn Qudamah –semoga Allah merahmati mereka semua–.
Pendapat Syaikh Ibn ‘Utsaimin tentang Batasan Safar
Syaikh Ibn ‘Utsaimin tidak menetapkan jarak pasti secara mutlak untuk definisi safar. Beliau lebih cenderung pada pendekatan ‘urfi (kebiasaan umum masyarakat). Artinya:
"Yang menjadi ukuran adalah apa yang secara adat dianggap safar (perjalanan jauh), bukan dengan hitungan kilometer tertentu."
(Majmu' Fatawa wa Rasail Ibn ‘Utsaimin, 15/285)
Namun beliau juga menyebut bahwa sebagian ulama mengambil batasan:
80–83 km (sekitar 2 marhalah), sebagai ukuran minimal jarak safar yang membolehkan qashar dan rukhsah safar lainnya.
Tapi ini bukan patokan mutlak menurut beliau.
- Penekanan Beliau:
- Jika masyarakat setempat menganggapnya safar, maka itu safar, meskipun kurang dari 80 km.
- Kalau masyarakat tidak menganggapnya safar, meskipun jauh secara kilometer, maka itu tidak disebut safar.
Beliau sangat menekankan pendekatan ‘urf (kebiasaan), karena Islam itu tidak membebani dengan angka yang tidak bisa disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat.
Catatan Praktikal:
Namun untuk tujuan ihtiyath (kehati-hatian), ketika shalat qashar atau tidak berpuasa saat safar, banyak orang tetap memakai patokan 80–83 km, karena:
- Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama),
- Dan sebagai standar minimal yang aman.
Referensi Permasalahan:
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (1/303)
Al-Ikhtiyar li Ta’lil al-Mukhtar (1/250)
Al-Majmu’ oleh An-Nawawi (4/353)
Al-Basa’ir oleh Ibn Badr (2/127)
Al-Kafi oleh Ibn Qudamah (1/126)
Al-Mughni (2/18)
Syarh al-Kabir (1/302)
Syarh az-Zurqani (2/48)
Nihayatul Muqtashid syarah Bidayatul Mujtahid (2/78)
Fiqh Muqaran (Fiqih Perbandingan)
(Majmu' Fatawa wa Rasail Ibn ‘Utsaimin, 15/285)
Wallahu ta’ala a’lam bis showab.
Oleh: Abu Haneen, Lc & Miqdad Al Kindi, Lc