Shalat Tapi Salah Kiblat? Sah atau Batal?

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 13 Agustus 2025, 19:56:28

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

 

Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah shalat yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama. Namun, bagaimana jika seseorang berada di tempat asing, gelap, atau tanpa alat bantu seperti kompas, dan ia tidak tahu arah kiblat? Apakah shalatnya sah jika ternyata ia salah arah? Dalam kehidupan modern yang penuh mobilitas — di gunung, pesawat, hutan, atau hotel asing — masalah ini sangat relevan. Artikel ini akan mengupas persoalan tersebut secara rinci, berdasarkan dalil Al-Qur’an, semoga bermanfaat.

 

1. Dalil Kewajiban Menghadap Kiblat

Allah تعالى berfirman:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya.”

(QS. Al-Baqarah: 144)

Ayat ini menjadi dasar kuat kewajiban menghadap kiblat dalam shalat. Ini berlaku bagi yang mengetahui arah kiblat. Namun bagaimana jika tidak tahu?

 

Kasus: Lupa atau Tidak Tahu Arah Kiblat

Jika dalam Situasi:

  • Seorang muslim berada di daerah asing atau kondisi minim cahaya.
  • Tidak memiliki alat bantu (kompas, peta, matahari, GPS).
  • Ia mengira suatu arah sebagai kiblat dan shalat.
  • Kemudian ia tahu arah sebenarnya berbeda. 

Hukum:

  • Jika ia telah berijtihad (berusaha mencari arah kiblat semaksimal mungkin): Shalatnya sah walaupun arah sebenarnya meleset.
  • Jika asal-asalan tanpa usaha sama sekali (taqlid buta atau cuek): Shalatnya tidak sah menurut pendapat yang rajih.

Dalilnya

Hadits riwayat Al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: كُنَّا فِي سَفَرٍ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ، فَاجْتَهَدْنَا فِي الْقِبْلَةِ فَصَلَّى كُلُّ وَاحِدٍ مِنَّا عَلَى حِدَةٍ، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا إِذْ نَحْنُ عَلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، فَلَمْ يَأْمُرْنَا بِإِعَادَتِهَا

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

"Kami pernah dalam sebuah perjalanan pada malam yang sangat gelap. Maka kami berijtihad menentukan arah kiblat, dan masing-masing dari kami shalat ke arah yang ia yakini. Ketika pagi tiba, ternyata kami salah arah. Kami pun menyampaikan hal itu kepada Nabi ﷺ, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengulang shalat tersebut."

(Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra (vol. 2, hlm. 10) Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf. Dinilai hasan oleh sebagian ulama, dan digunakan oleh fuqaha sebagai dasar qiyas dan istidlal)

 

2. Pandangan ulama mazhab

  • Hanafiyyah:

Para ulama dari mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa shalat seseorang yang salah arah kiblat tetap sah dan tidak wajib diulang jika ia telah berijtihad dan ijtihadnya menunjuk ke arah tersebut.

Adapun jika ia shalat tanpa ijtihad, atau ia mampu bertanya kepada orang lain tentang arah kiblat tapi tidak melakukannya, maka wajib mengulang shalatnya.

Disebutkan dalam kitab "al-Ikhtiyār li Ta‘līl al-Mukhtār" (الاختيار لتعليل المختار) karya Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Abī Bakr al-Marghīnānī (593 H / 1197 M)

“Jika seseorang bingung menentukan arah kiblat dan tidak ada yang bisa ditanya, maka ia berijtihad dan shalat, maka tidak perlu mengulang meskipun ternyata salah.

Sebab telah diriwayatkan bahwa sekelompok sahabat pernah bingung menentukan arah kiblat di malam yang gelap, lalu masing-masing mereka shalat ke arah yang ia sangka sebagai kiblat dan membuat garis di depannya.

Ketika pagi hari, ternyata garis-garis itu bukan mengarah ke kiblat. Lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda:

‘Shalat kalian telah sah.’

Dan dalam riwayat lain: ‘Tidak perlu kalian ulang.’

Karena yang diwajibkan atas mereka adalah menghadap ke arah yang dihasilkan dari ijtihad (usaha maksimal), sebab beban syariat itu sesuai kemampuan…”

Kemudian dikatakan juga:

“Namun jika seseorang shalat tanpa ijtihad lalu salah, maka ia wajib mengulang.

Begitu juga jika di sekitarnya ada orang yang bisa ditanya namun ia tidak bertanya, maka ia wajib mengulang. Karena ia telah meninggalkan kewajiban untuk berusaha mencari arah yang benar, baik melalui ijtihad maupun bertanya.”

  • Malikiyyah:

Adapun menurut mazhab Malikiyah, jika seseorang shalat ke arah yang salah karena ijtihad, maka tidak wajib mengulang, namun disunnahkan mengulang selama masih dalam waktu shalat.

Disebutkan dalam (Syarḥ al-Kabīr ‘alā Mukhtaṣar Khalīl) karya Aḥmad ibn Muḥammad ad-Dardīr (Wafat: 1201 H / 1786 M):

“Jika kesalahan arah kiblat baru diketahui setelah selesai shalat, maka disunnahkan untuk mengulang, khususnya bagi orang yang bermata normal dan menyimpang secara besar dari arah kiblat, dan itu masih dalam waktu shalat.

Namun hal ini tidak berlaku bagi:

Orang yang tidak wajib mengetahui arah dengan pasti, seperti orang buta

Atau orang yang hanya menyimpang sedikit dari arah kiblat.”

  • Syafiiyyah:

Sedangkan menurut mazhab Syafi‘iyah, wajib mengulang shalat dalam semua kondisi apabila ternyata arah kiblatnya salah.

Imam Nawawi (676 H / 1277 M) dalam Minhāj al-Ṭālibīn mengatakan:

“Barangsiapa shalat berdasarkan ijtihad lalu meyakini dirinya salah arah kiblat, maka ia wajib mengulang, menurut pendapat yang paling kuat (al-ashah).

Jika ia sadar masih di dalam shalat bahwa arah kiblatnya salah, maka wajib memulai ulang shalatnya.”

  • Hanabilah:

Adapun menurut mazhab Hanabilah, mereka membedakan antara kondisi di kampung/kota dan di perjalanan (safar).

Disebutkan dalam “al-Insāf fī Ma‘rifah ar-Rājiḥ min al-Khilāf ‘alā Madhhab al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal” karya al-Mardāwī al-Ḥanbalī (885 H / 1480 M)

“Pendapat yang paling benar dalam mazhab ini:

Jika orang bermata normal shalat di wilayah kota lalu salah arah kiblat, maka ia wajib mengulang shalatnya secara mutlak, dan ini adalah pendapat utama para ulama mazhab.

Ada juga riwayat dari Imam Ahmad bahwa jika ia telah berijtihad meski di kota, maka tidak wajib mengulang, berdasarkan kisah penduduk Qubā.”

(Telah disebutkan bahwa Ibn az-Zāghūnī menukil adanya riwayat bahwa orang tetap boleh berijtihad meskipun di wilayah kota).”

 

📊 Tabel Ringkasan Pandangan Empat Mazhab tentang Kesalahan Arah Kiblat

1755090178588.jpg

 

3. Fatwa Syaikh Bin Baz رحمه الله :

Pertanyaan:

"Jika sekelompok orang shalat berjamaah tidak menghadap ke arah kiblat, karena mereka tidak mengetahui secara pasti arahnya, apakah mereka wajib mengulangi shalatnya?"

Jawaban:

“Jika mereka berada di padang pasir (tempat terbuka) lalu telah berijtihad (berusaha menentukan arah kiblat) dan shalat berdasarkan arah yang mereka yakini sebagai kiblat, maka tidak wajib mengulangi shalat.

Namun jika mereka berada di wilayah pemukiman (perkotaan), maka mereka wajib mengulangi shalatnya, karena mereka memiliki kesempatan untuk bertanya kepada orang di sekitarnya tentang arah kiblat.”

Fatwa ini dimuat dalam Majalah Ad-Da‘wah, edisi 1317 tanggal 15/5/1412 H, dan dalam Kitab Ad-Da‘wah (Al-Fatāwā) oleh Syaikh Ibnu Bāz, jilid kedua, halaman 95. (Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Syaikh Ibn Bāz 10/420).

📊 Tabel Ringkasan Hukum Shalat Salah Kiblat (Fatwa Syaikh Ibn Bāz)

Screenshot_20250813-200123.jpg

 

4. Fatwa Syaikh Utsaimin رحمه الله :

Pertanyaan:

Wahai Fadhilah Asy-Syaikh, ada seseorang pindah ke rumah baru, dan ia menyangka arah kiblat berada di suatu arah tertentu.

Ia pun shalat beberapa waktu ke arah tersebut, termasuk beberapa shalat wajib yang luput dari berjamaah di masjid.

Setelah beberapa waktu, ia baru mengetahui bahwa arah yang ia sangka kiblat ternyata salah.

Apa hukum shalatnya?

Jawaban:

“Jika penyimpangannya besar, sampai keluar dari arah kiblat, maka ia wajib mengulangi shalatnya.

Namun, jika penyimpangannya ringan, maka tidak mengapa (tidak perlu diulang), karena penyimpangan kecil dimaafkan.

Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada penduduk Madinah:

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat adalah kiblat.”

(HR. Tirmidzi, disahihkan oleh al-Albani)

Artinya, ada kelonggaran dalam batas arah, asalkan tidak melenceng jauh.”

Penanya bertanya lagi:

Apakah kewajiban mengulang itu hanya untuk shalat fardhu saja?

Syaikh menjawab:

“Tidak. Termasuk shalat sunnah rawatib dan witir juga diulang.

Apakah engkau tidak tahu bahwa mengqadha shalat sunnah rawatib dan witir itu juga disunnahkan?

Karena aslinya shalat-shalat itu bagian dari ibadah tetap (ashliyyah)”.

(Alfatawa no. 129219)

 

5. Kesimpulan

  • Jika salah kiblat sedikit, tidak wajib mengulang.
  • Jika salah kiblat besar (misalnya kiblat berada di kanan atau kiri, tapi dia menghadap ke depan atau belakang), wajib mengulang semua shalat yang salah arah, baik fardhu maupun sunnah muakkadah seperti rawatib dan witir.

 

Wallahu ta’al a’lam ....

 

 

Sumber

Isalm web no. 152821

Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Syaikh Ibn Bāz

AlFatawa Syaikh Utsaimin 

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id