Hukum Shalat Fardhu Sambil Duduk Karena Tua Atau Sakit

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 18 Agustus 2025, 14:18:58

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

Shalat adalah tiang agama dan bentuk penghambaan yang paling agung kepada Allah ﷻ. Sebagaimana ibadah lainnya, shalat memiliki rukun-rukun yang wajib dipenuhi, dan salah satu rukun utama shalat adalah berdiri bagi yang mampu, khususnya dalam shalat fardhu.

Dalam praktik keseharian, sering kita jumpai sebagian kaum Muslimin — khususnya yang telah lanjut usia — shalat fardhu dilakukan sambil duduk, padahal mereka masih mampu berdiri, bahkan bisa berjalan ke masjid tanpa bantuan, duduk santai di warung, atau berbincang dalam waktu lama.

Maka penting bagi kita untuk memahami: 

  • Apakah dalam kondisi seperti itu dibolehkan langsung duduk saat shalat?
  • Apakah shalatnya sah? 
  • Atau justru batal karena meninggalkan rukun yang pokok?

Tulisan ringkas ini akan membahas hukum duduk dalam shalat fardhu berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadits-hadits shahih, serta pandangan para ulama dari empat mazhab, agar kita semua dapat menjaga kualitas shalat dengan benar, bukan sekedar gerakan rutin, tapi ibadah yang sah dan diterima di sisi Allah.

 

Hukum Fiqihnya

Berdiri dalam shalat fardhu adalah rukun bagi yang mampu. Tanpa berdiri, maka shalatnya batal.

Dalilnya:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk.”

(QS. Al-Baqarah: 238)

Nabi ﷺ bersabda kepada ‘Imran bin Husain:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah berdiri. Jika tidak mampu, maka duduklah. Jika tidak mampu juga, maka berbaringlah.”

(HR. Bukhari no. 1117)

Catatan penting:

Nabi ﷺ meletakkan urutan kemampuan secara jelas dan tegas. Maka tidak boleh langsung duduk jika masih mampu berdiri, meskipun sebentar.

 

Kaidah Ushul Fiqih Terkait

الْمَيْسُورُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ

“Apa yang masih mampu dilakukan, tidak gugur hanya karena ada bagian yang tidak mampu.”

Maka jika seseorang mampu berdiri namun tidak mampu rukuk atau sujud, ia tetap wajib shalat sambil berdiri, lalu rukuk/sujud dengan isyarat.

 

Kasus lapangan:

  1. Apakah duduk dalam Shalat diperbolehkan hanya jika tidak mampu berdiri total?
  2. Atau juga boleh bagi yang masih mampu berdiri tapi takut tertimpa bahaya?
  3. Apa batasan "Tidak Mampu" yang membolehkan duduk dalam Shalat tanpa menanggung dosa atau hukuman?

 

Jawaban:

Berdiri dalam shalat fardhu adalah salah satu rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Maka tidak boleh seseorang shalat sambil duduk kecuali jika dia tidak mampu berdiri, atau jika berdiri menyebabkan kesulitan berat, atau khawatir penyakitnya bertambah parah bila shalat dalam posisi berdiri.

Yang termasuk dalam kategori ini adalah:

  1. Orang lumpuh yang tidak bisa berdiri sama sekali,
  2. Orang lanjut usia yang sangat berat berdiri,
  3. Orang sakit yang dikhawatirkan penyakitnya memburuk jika shalat sambil berdiri.

Dalil utama:

  • Hadits dari ‘Imran bin Husain radhiyallahuanhu, beliau berkata:

"Aku menderita penyakit wasir, lalu aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang shalat." Maka beliau bersabda:

“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka duduklah. Jika tidak mampu juga, maka berbaringlah.”

(HR. Bukhari no. 1050)

  • Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

“Orang sakit jika berdiri akan memperparah sakitnya, maka ia boleh shalat sambil duduk.

Telah terjadi ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa orang yang tidak mampu berdiri boleh shalat dalam keadaan duduk.”

Ibnu Qudamah melanjutkan:

“Jika masih bisa berdiri namun khawatir penyakit makin parah atau terlambat sembuh, atau berdiri menimbulkan kesulitan yang berat, maka boleh baginya shalat sambil duduk. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ishaq, serta disetujui oleh Imam Ahmad.

Adapun orang yang mampu berdiri untuk urusan dunia (seperti ke pasar atau warung), maka tidak boleh langsung duduk dalam shalat, ia wajib shalat sambil berdiri.

Dalilnya:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kalian kesulitan dalam agama."

(QS. Al-Hajj: 78)

Bila berdiri menyebabkan kesulitan berat, maka rukun ini gugur. Contohnya, Nabi ﷺ pernah jatuh dari kudanya dan mengalami luka, maka beliau shalat sambil duduk. Ini menunjukkan bahwa kesulitan pun menjadi sebab gugurnya kewajiban berdiri.

Namun, jika seseorang masih mampu berdiri dengan bantuan tongkat, tembok, atau sandaran, dan tidak menimbulkan bahaya, maka ia tetap wajib berdiri.” 

(Al-Mughni 1/443)

  • Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

"Umat telah sepakat (ijma‘) bahwa siapa pun yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardhu, maka ia boleh shalat sambil duduk dan tidak wajib mengulang shalatnya."

Para ulama mazhab kami (Syafi’iyyah) berkata:

“Pahala orang tersebut tidak akan berkurang dibanding saat ia shalat berdiri, karena ia memiliki uzur.”

Telah shahih dalam riwayat al-Bukhari bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا 

“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya (pahala) sebagaimana apa yang biasa ia kerjakan saat sehat dan mukim.”

Para ulama Syafiiyah juga menyatakan:

“Dalam menentukan tidak mampu berdiri, tidak disyaratkan sampai benar-benar tidak bisa berdiri sama sekali. Namun, sekadar adanya sedikit kesulitan (mashaqqah ringan) juga belum cukup untuk menjadi uzur. Yang dianggap adalah kesulitan yang nyata (mashaqah zhahirah).”

Maka jika seseorang:

  • Khawatir mengalami kesulitan berat,
  • Atau takut penyakitnya makin parah,
  • Atau orang yang berada di kapal dan takut tenggelam atau pusing jika berdiri,

Maka ia boleh shalat sambil duduk dan tidak wajib mengulangnya.”

(Al-Majmū‘, 4/201)

  • Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang batasan (ḍābiṭ) kesulitan yang membolehkan meninggalkan berdiri dalam shalat fardhu, dan juga menjelaskan cara duduk yang benar, beliau berkata:

“Batasan kesulitan adalah sesuatu yang menghilangkan kekhusyukan. Dan khusyuk itu adalah hadirnya hati dan ketenangan. Maka jika seseorang ketika berdiri mengalami kegelisahan luar biasa dan tidak bisa tenang, bahkan dia berharap segera sampai ke akhir bacaan Al-Fatihah agar bisa rukuk karena beratnya berdiri, maka ini menunjukkan bahwa berdiri menjadi sangat memberatkannya. Maka ia boleh shalat sambil duduk.”

Beliau melanjutkan:

“Demikian pula orang yang ketakutan, ia tidak mampu shalat sambil berdiri. Misalnya seseorang shalat di balik dinding, dan di sekitarnya ada musuh yang mengintai. Jika ia berdiri, tubuhnya tampak dari balik dinding. Jika ia duduk, ia tersembunyi. Dalam kondisi ini kami katakan kepadanya: shalatlah sambil duduk.”

Dalilnya:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqoroh: 239)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menggugurkan rukun-rukun shalat seperti rukuk, sujud, dan duduk, karena adanya rasa takut. Maka rukun berdiri pun ikut gugur jika dalam kondisi takut atau khawatir yang nyata.

"Namun, bagaimana cara duduknya?"

Ia duduk dalam posisi tarabbu’ (bersila) di atas dua pangkal pahanya (bokongnya), dengan melipat kedua kakinya hingga sejajar dengan kedua pahanya. Cara duduk ini dinamakan duduk bersila (at-tarabbu‘), karena kedua betis dan paha, baik kanan maupun kiri, semuanya tampak (terbuka). Hal ini berbeda dengan cara duduk iftirasy, di mana betis biasanya tertutup oleh paha, sedangkan dalam duduk tarabbu‘, keempat bagian anggota tersebut (dua betis dan dua paha) tampak semua.

“Apakah duduk bersila itu wajib?”

Tidak. Duduk bersila bukan wajib, melainkan sunnah. 

Maka jika seseorang shalat dalam posisi iftirasy (duduk seperti tasyahhud awal), tidak mengapa. 

Jika ia shalat dalam posisi ihtibā’ (memeluk kedua lutut sambil duduk), juga tidak mengapa, berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ:

فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا

"Jika engkau tidak mampu (berdiri), maka shalatlah sambil duduk."

Dan Nabi ﷺ tidak menjelaskan secara rinci bentuk duduk seperti apa yang harus dilakukan.

Jika seseorang bertanya: “Adakah dalil bahwa Nabi ﷺ duduk bersila saat shalat?”

Jawabannya: Ya, telah berkata ‘Ā’isyah رضي الله عنها:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا

“Aku melihat Nabi ﷺ shalat dalam keadaan duduk bersila (mutarabbian).”

Selain itu, posisi duduk bersila secara umum lebih memberi ketenangan dan kenyamanan dibandingkan duduk iftirasy. Karena berdiri dalam shalat biasanya diisi dengan bacaan yang panjang, tidak cukup hanya dengan ucapan pendek seperti:

رب اغفر لي وارحمني

Maka bersila lebih utama dalam kondisi duduk sebagai pengganti berdiri.

Dan ada manfaat lain dari duduk bersila, yaitu untuk membedakan antara duduk pengganti berdiri (sebagai rukun shalat) dan duduk yang memang posisinya dalam shalat (seperti duduk antara dua sujud atau tasyahhud). Sebab, jika kita juga duduk iftirasy saat mengganti berdiri, maka tidak ada perbedaan jelas antara duduk pengganti rukun dan duduk yang memang aslinya termasuk dalam shalat.

Jika dalam keadaan rukuk, sebagian ulama mengatakan harus duduk iftirasy, namun pendapat yang benar adalah tetap duduk bersila, karena orang yang rukuk itu pada hakikatnya masih dalam posisi berdiri (berdiri yang membungkuk punggungnya). Maka orang yang duduk bersila tetap rukuk dalam posisi bersila, dan inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.

(As-Syarhul Mumti’, 4/461)

 

Kesimpulan:

  • Shalat fardhu sambil duduk hanya boleh dilakukan jika tidak mampu berdiri atau berdiri menyebabkan bahaya serius.
  • Sekedar malas, lemah biasa, atau hanya karena sudah tua, bukan alasan syar’i yang membolehkan duduk.
  • Orang yang masih bisa berdiri untuk aktivitas dunia, maka wajib berdiri dalam shalat.
  • Shalat sunnah boleh duduk meski mampu berdiri, tapi pahalanya setengah.

Maka, jangan gampang meremehkan rukun berdiri dalam shalat fardhu, karena ini menyangkut sah dan tidak sahnya ibadah kita di sisi Allah.

 

Penutup

Shalat adalah tiang agama, dan berdiri dalam shalat fardhu termasuk rukun utama yang tidak boleh ditinggalkan kecuali bagi mereka yang memiliki uzur syar’i yang sah. Syariat Islam memberikan kewajiban penuh kepada orang yang mampu, namun juga memberikan keringanan dan kasih sayang kepada yang lemah dan sakit.

Karena itu, tidak boleh seseorang meremehkan kewajiban berdiri, selama ia masih mampu — meskipun dengan sedikit bantuan atau rasa letih — sebab berdiri adalah bentuk pengagungan terhadap Allah ﷻ. Namun, bagi yang benar-benar tidak mampu, baik karena sakit, usia lanjut, atau sebab lain yang dibenarkan syariat, maka duduk dalam shalat adalah rukhshah (keringanan) yang boleh diambil, dan shalatnya tetap sah serta berpahala penuh, insyaAllah.

Mari kita bersungguh-sungguh dalam menjaga shalat, sesuai kemampuan kita. Jangan menunda perbaikan, karena shalat adalah hal pertama yang akan ditanya pada hari kiamat.

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي، رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

"Ya Allah, bantulah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya."

"Ya Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang tetap mendirikan shalat, dan terimalah doaku."

 

Wallahu ta’ala a’lam bis showab ....

 

 

Sumber

Al-Fiqhul Muyassar

Al-Mughni ibnu qudamah

Al-Majmu’ imam Nawawi

As-Syarhul Mumti’ ibnu Utsaimin

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id