Hukum Melafazkan Niat dalam Shalat
Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du....
Shalat merupakan ibadah paling agung dalam Islam setelah dua kalimat syahadat. Ia adalah tiang agama, pemisah antara iman dan kekufuran, serta menjadi barometer amalan seorang hamba di sisi Allah. Dalam pelaksanaannya, shalat memiliki syarat, rukun, dan adab yang telah ditentukan oleh syariat. Salah satu rukun utama adalah niat, yang keberadaannya sangat krusial untuk menentukan sah atau tidaknya shalat seseorang.
Namun, muncul satu praktik yang banyak dilakukan di tengah masyarakat Muslim, yaitu melafazkan niat dengan lisan, seperti mengucapkan: "Ushalli fardha al-zhuhri arba'a raka’atin mustaqbila al-qiblati adā’an lillāhi ta‘ālā." Lalu, bagaimana sebenarnya hukum melafazkan niat menurut dalil Al-Qur’an dan hadits serta pandangan ulama terdahulu dan kontemporer?
Definisi Niat dalam ibadah
Secara bahasa, niyyah (نية) berarti "keinginan, tujuan, atau maksud".
Adapun secara istilah syar’i, Imam an-Nawawi berkata:
النية قصد الشيء مقترناً بفعله
“Niat adalah maksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan perbuatannya.”
(Al-Majmu', 3/243)
Dengan kata lain, niat adalah amalan hati, bukan lisan.
Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Maknanya: Ikhlas hanya bisa lahir dari niat yang bersih dari dalam hati, bukan sekadar ucapan formal di lisan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan.”
(HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 1907)
Hadits ini menjadi pokok utama dalam bab niat. Menunjukkan bahwa letak niat adalah di dalam hati, karena Nabi ﷺ tidak pernah mengajarkan melafazkannya.
Pandangan Ulama Salaf
Mayoritas ulama salaf tidak pernah mencontohkan pelafalan niat sebelum shalat. Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang sering diklaim oleh sebagian pihak membolehkan pelafalan niat tidak pernah menyebutkan lafaz niat secara lisan dalam kitab-kitab beliau.
Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) dalam Al-Mughni mengatakan:
وَالنِّيَّةُ لاَ يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِهَا، بِلَا خِلاَفٍ نَعْلَمُهُ
“Niat tidak disyaratkan untuk dilafazkan, ini adalah pendapat yang tidak kami ketahui adanya perselisihan.”
(Al-Mughni, 1/280)
Pendapat Ulama Kontemporer
- Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله berkata:
"Niat tempatnya di hati, dan sunnahnya adalah berniat dalam hati saja, tanpa dilafazkan dengan lisan. Jika seseorang berdiri untuk shalat sambil berniat dalam hati bahwa ia akan shalat Zhuhur, maka itu sudah cukup; berniat shalat ‘Ashar, itu cukup; shalat Maghrib, cukup; shalat Dhuha, cukup. Tidak perlu mengatakan, ‘Aku niat,’ – itu adalah bid‘ah.
Kalimat seperti: ‘Aku niat shalat ini dan itu, Zhuhur empat rakaat, ‘Ashar empat rakaat, Maghrib tiga rakaat,’ – ini adalah bid‘ah, tidak ada asal-usulnya. Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya,' dan niat tempatnya di hati. Nabi ﷺ tidak pernah melafazkan niat, demikian pula para sahabatnya.
Beliau ﷺ juga bersabda: 'Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak.'
Maka, wajib atas setiap Muslim untuk berniat di dalam hatinya saja, dan tidak melafazkannya. Seperti mengatakan: ‘Aku niat shalat ini,’ atau ‘Aku niat thawaf ini,’ atau ‘Aku niat sa’i ini’ – tidak demikian caranya. Niat tempatnya di hati, dan itu sudah cukup. Alhamdulillah."
(Fatawa Syaik Bin Baz No.17697)
- Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله berkata:
“Melafazkan niat tidak disyariatkan, bahkan ia termasuk bentuk was-was yang ditiupkan oleh setan kepada sebagian manusia. Niat tempatnya di hati, dan itu cukup. Tidak boleh menjadikan ibadah seperti shalat ini tergantung pada ucapan lisannya.”
(Asy-Syarhul Mumti’, 2/289)
Sanggahan terhadap Anggapan Pelafalan Niat Itu Sunnah
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa melafazkan niat hanya untuk membantu menghadirkan hati. Namun ini tidak pernah ada dasar dari Nabi ﷺ, bahkan tidak dilakukan oleh para sahabat, padahal mereka adalah orang yang paling paham maksud Rasulullah ﷺ dan paling semangat dalam ibadah.
Jika memang melafazkan niat itu baik, tentu para salaf sudah mendahului kita dalam mengerjakannya.
Dan juga Hadits Nabi ﷺ:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ
“Wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham...”
(HR. Abu Dawud, no. 4607; At-Tirmidzi, no. 2676 – Hasan sahih)
Penutup
Berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama, dapat disimpulkan bahwa:
- Niat adalah amalan hati, bukan lisan.
- Tidak ada atsar salaf ataupun hadits yang menjelaskan lafaz niat yang harus diucapkan ketika melakukan ibadah tertentu.
- Ulama salaf dan kontemporer, seperti Ibn Qudamah, Syaikh Bin Baz, dan Syaikh Utsaimin, berpandangan bahwa niat itu tidak dilafalkan, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang diada-adakan.
- Yang diwajibkan adalah kehadiran hati ketika hendak melakukan shalat, bukan hanya ucapan yang berulang-ulang.
Mari kita kembali kepada sunnah (ajaran) yang murni, menjadikan ibadah kita lebih lurus dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.
Imam Ahmad bin Hanbal ( (241 H) berkata:
أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب رسول الله ﷺ
"Pokok-pokok sunnah menurut kami adalah berpegang pada apa yang dijalani oleh para sahabat Rasulullah ﷺ."
(Ushul as-Sunnah, Imam Ahmad)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad ....
Sumber:
As-Syarhul Mumti’ Syaikh Utsaimin
Fatawa Syaikh Binbaz
Oleh: Abu Haneen
Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc