Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 20 Agustus 2025, 17:38:11

 

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du....

 

Salah satu bentuk kesiapan penting dalam melaksanakan ibadah umrah adalah thaharah (bersuci), karena tidak sahnya shalat —dan banyak ibadah lainnya— tanpa kesucian dari hadats maupun najis. Sayangnya, tak sedikit jamaah yang masih ragu atau keliru dalam membedakan jenis-jenis najis serta tata cara mensucikannya sesuai tuntunan syariat.

Oleh karena itu, tulisan ini hadir sebagai panduan ringkas namun sistematis, guna membantu jamaah umrah —baik yang pemula maupun yang telah berpengalaman— untuk memahami macam-macam najis dan cara mensucikannya dengan benar, agar ibadah semakin sah dan berpahala.

Semoga catatan ini menjadi bekal ilmu yang bermanfaat, yang tak hanya dibawa saat berada di Tanah Suci, tapi juga diamalkan dalam keseharian di manapun berada. Karena bersuci bukan hanya syarat ibadah, tapi juga bagian dari kemuliaan seorang muslim.

 

Bab ini terdiri dari beberapa poin pembahasan:

  1. Definisi Najis dan Jenis-jenisnya
  2. Hal-Hal yang Ditetapkan sebagai Najis Berdasarkan Dalil
  3. Cara Menyucikan Najis
  4. Penutup 

 

Poin Pertama: Definisi Najis dan Jenis-jenisnya

1. Definisi Najis

Najis adalah 

كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها

"setiap benda yang dianggap kotor secara tabiat dan diperintahkan oleh syariat untuk dijauhi."

2. Jenis-jenis Najis

Najis Berdasarkan Jenisnya

1. Najis ‘Ainiyyah (Najis Nyata atau Hakiki)

Yaitu najis yang zatnya sendiri najis, dan tidak dapat disucikan dalam keadaan apa pun, karena hakikat bendanya memang najis.

Contohnya:

  • Kotoran keledai,
  • Darah,
  • Air kencing.

2. Najis Hukmiyyah (Najis Hukum atau Status):

Yaitu najis yang bersifat abstrak (bukan benda fisik), yang terdapat pada anggota tubuh dan menghalangi keabsahan shalat.

Contohnya:

  • Hadats kecil, seperti keluar angin atau buang air kecil/besar, yang disucikan dengan wudhu.
  • Hadats besar, seperti junub, yang disucikan dengan mandi besar (ghusl).

Sarana pokok untuk menghilangkan najis adalah air, karena air adalah alat dasar untuk bersuci, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُم بِهِ

“Dan Dia menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya.”

(QS. al-Anfāl: 11)

Najis Berdasarkan Tingkatannya

Najis terbagi menjadi tiga tingkatan, berdasarkan tingkat kekotorannya dan cara menyucikannya:

1. Najis Mughalazah (Najis Berat):

Yaitu najis anjing dan segala sesuatu yang berasal darinya, seperti air liur, kotoran, atau bagian tubuhnya.

2. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan):

Yaitu air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan selain ASI, selama masih bayi.

3. Najis Mutawassithah (Najis Sedang):

Yaitu selain keduanya, seperti:

  • air kencing orang dewasa,
  • kotoran manusia,
  • bangkai hewan,
  • darah,
  • dan najis-najis lainnya.

 

Poin Kedua: Hal-Hal yang Ditetapkan sebagai Najis Berdasarkan Dalil

1. Air kencing manusia, tinjanya, dan muntahannya

Semuanya najis, kecuali air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan selain susu, cukup dibasahi dengan percikan air tanpa dicuci secara menyeluruh. Berdasarkan hadits:

عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ، أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ، إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَأَجْلَسَهُ فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ، وَلَمْ يَغْسِلْهُ

"Dari Ummu Qais binti Mihshan bahwa dia datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa anak kecilnya yang belum makan makanan (selain susu). Lalu ia mendudukkannya di pangkuan Nabi ﷺ, maka anak itu pun kencing di bajunya. Maka beliau meminta air dan memercikkannya, dan tidak mencucinya."

(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sedangkan air kencing bayi laki-laki yang sudah makan makanan, dan air kencing bayi perempuan, dihukumi sama seperti orang dewasa, yaitu wajib dicuci.

2. Darah yang mengalir dari hewan yang halal dimakan

Ini adalah najis, sedangkan darah yang tersisa dalam daging dan pembuluh darah dianggap suci, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:

أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا

“…atau darah yang mengalir.”

(QS. Al-An‘ām: 145)

Yakni darah yang mengucur keluar dan tertumpah, bukan yang tersisa di urat dan daging.

3. Air kencing dan kotoran semua hewan yang tidak halal dimakan, seperti:

  • Kucing,
  • Tikus,

maka itu semuanya najis.

4. Bangkai

Yaitu hewan yang mati tanpa disembelih secara syar‘i. Dalilnya firman Allah Ta‘ala:

إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً

“…kecuali jika itu bangkai.”

(QS. Al-An‘ām: 145)

Pengecualian:

  • Bangkai ikan,
  • Bangkai belalang,
  • Bangkai hewan yang tidak memiliki darah mengalir (نَفْسٌ سَائِلَةٌ) seperti lalat.

Semua itu tidak najis, tetapi suci menurut syariat.

5. Madzi (المذي)

Yaitu cairan putih, tipis, dan lengket yang keluar ketika bergairah atau membayangkan hubungan intim. Ciri-cirinya:

  • Keluar tanpa dorongan syahwat yang kuat,
  • Tidak memancar,
  • Tidak diiringi rasa lemas atau capek,
  • dan kadang tidak terasa keluar.

Cairan ini najis berdasarkan hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: تَوَضَّأْ، وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

Rasulullah ﷺ bersabda, “Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu.”

(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini tidak diperintahkan mandi, hanya cukup wudhu dan mencuci kemaluan, sebagai bentuk keringanan karena madzi sulit dihindari.

6. Wadi (الوَدْي)

Yaitu cairan putih kental yang keluar setelah kencing.

Siapa yang terkena, maka wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu, tidak perlu mandi.

7. Darah haid

Berdasarkan hadits dari Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتْ: إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ فَقَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya: "Salah satu dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus dilakukan?"

Beliau bersabda: "Gosoklah (bekas darah itu), lalu basuhlah dengan air, kemudian percikkan air padanya, lalu shalatlah dengan pakaian itu."

(HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Poin Ketiga: Cara Mensucikan Najis

1. Jika najis itu berada di tanah atau tempat,

maka cukup disucikan dengan satu kali siraman air yang menghilangkan zat najisnya.

Hal ini berdasarkan perintah Nabi ﷺ untuk menyiram air di atas kencing orang Badui yang kencing di masjid:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَرَفِ الْمَسْجِدِ، فَصَاحَ بِهِ النَّاسُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: دَعُوهُ، وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada seorang Arab Badui datang lalu kencing di pojok masjid. Orang-orang pun meneriakinya, namun Rasulullah ﷺ bersabda: “Biarkan dia. Siramlah kencingnya dengan seember atau setimba air.”

(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

2. Jika najis berada pada selain tanah, seperti:

  • pakaian,
  • bejana,
  • alas duduk,
  • atau permukaan benda lainnya,

maka rinciannya sebagai berikut:

a. Jika najis berasal dari jilatan anjing pada bejana, maka wajib dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Berdasarkan Hadits Nabi ﷺ:

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka cucilah bejana itu tujuh kali, yang pertama dengan tanah.”

(HR. Muslim)

Hukum ini umum untuk bejana, pakaian, dan permukaan lain yang terkena najis anjing.

b. Adapun najis babi, maka pendapat yang paling kuat (rajih): hukumnya seperti najis lainnya, cukup dicuci hingga hilang zat najisnya, tidak wajib tujuh kali.

3. Jika najis berasal dari air kencing, tinja, darah, dan semisalnya, maka cara mensucikannya adalah:

  • dicuci dengan air,
  • digosok dan diperas (jika bisa), hingga hilang warna, bau, dan rasa dari najis tersebut.
  • Satu kali cucian yang menyucikan sudah mencukupi.

4. Adapun air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan selain susu, maka cukup disucikan dengan ditaburi air (disebut “nadh”/نَضْح).

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ

“Air kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup diperciki.”

(HR. Abu Dāwūd dan an-Nasā’ī, shahih)

Dan juga berdasarkan hadits Ummu Qais binti Mihshan yang telah disebutkan sebelumnya, di mana Nabi ﷺ hanya memercikkan air ke pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki.

5. Kulit bangkai dari hewan yang halal dimakan (seperti kambing, sapi, dan unta),

dapat menjadi suci dengan disamak (الدِّبَاغُ). Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ، فَقَدْ طَهُر

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumā, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kulit bangkai apa pun yang telah disamak, maka ia telah menjadi suci.”

(HR. Muslim)

6. Darah haid yang mengenai pakaian wanita,

maka cara menyucikannya adalah:

  • digosok (dikikis) bekas darahnya,
  • dibasuh dengan air,
  • dipercikkan air,

lalu boleh digunakan untuk shalat. Berdasarkan hadis:

:قَالَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتْ: إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟

قَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhumā berkata: Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ lalu bertanya, “Salah satu dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?”

Beliau bersabda: “Gosoklah (bekas darah itu), lalu basuhlah dengan air, kemudian percikkan air padanya, lalu shalatlah dengannya.”

(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

 

Penutup

Sebagai seorang Muslim yang tengah menunaikan ibadah mulia seperti umrah, menjaga kesucian dari najis bukanlah perkara sepele. Kesucian badan, pakaian, dan tempat shalat adalah syarat mutlak sahnya ibadah, terutama di tempat yang begitu agung seperti Tanah Suci.

Maka, mari kita perhatikan kebersihan:

  • pada tubuh kita,
  • pada pakaian yang kita kenakan,
  • serta di tempat kita beribadah,

karena Allah mencintai orang-orang yang bersuci, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."

(QS. Al-Baqarah: 222)

Lebih dari itu, kebersihan adalah bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Kesucian itu adalah bagian dari iman.”

(HR. Muslim)

Maka siapa pun yang bersiap untuk menyambut panggilan Allah di Tanah Haram, hendaknya menyambutnya dengan jiwa dan raga yang suci, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam adab dan niat. Sebab bersuci bukan hanya prasyarat ibadah, namun juga cerminan penghormatan kita terhadap tempat, waktu, dan Rabb yang kita sembah.

Semoga Allah menerima setiap langkah, setiap sujud, dan setiap tetes air yang digunakan untuk bersuci sebagai bagian dari ibadah yang tulus dan diterima. Aamiin.

 

Wallahu ta’al a’lam bis showab ....

 

 

Sumber:

Al-Fiqhu Al-Muyassar

Oleh: Abu Haneen

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id