Kapan Boleh Menjama', dan Kapan Tidak Boleh Menjama' Sholat?
Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....
Salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah ketika Dia memberi rukhshah, keringanan dalam beribadah saat ada kesulitan. Di antara rukhshah yang paling sering dirasakan oleh para jamaah umrah adalah bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat saat dalam perjalanan.
Keringanan ini bukan tanda bahwa kita boleh “bermain-main” dengan ibadah, tapi justru tanda bahwa syariat Islam ini sempurna dan penuh hikmah. Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuan mereka.
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Namun, di lapangan sering muncul pertanyaan dari jamaah:
“Ustadz, kapan kita boleh jama’ shalat?”
“Kalau sudah sampai hotel di Makkah, masih boleh jama’ gak?”
“Apakah setiap bepergian otomatis boleh jama’?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat bagus, tanda bahwa jamaah ingin beribadah ala Rasulullah ﷺ, bukan sekedar “yang penting sah”. Karena dalam manhaj Salaf, ukuran benar itu bukan apa yang biasa kita lakukan, tapi apa yang Nabi ﷺ ajarkan.
Jadi, mari kita bahas dengan santai tapi ilmiah: kapan sebenarnya boleh menjama’, dan kapan sebaiknya tidak menjama’ shalat. Supaya ibadah kita bukan hanya ringan, tapi juga benar; karena keringanan tanpa ilmu sering berujung kecerobohan, sementara ilmu tanpa amal tidak membawa manfaat.
Makna Jama' dan Qashar
Jama' berarti menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu.
Misalnya:
- Jama' taqdim → menggabungkan Zuhur & Asar di waktu Zuhur.
- Jama' ta’khir → menggabungkan Zuhur & Asar di waktu Asar.
Qashar berarti mempersingkat shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (Zuhur, Asar, Isya).
Shalat Maghrib dan Subuh tidak bisa diqashar.
Dalilnya jelas dalam Al-Qur’an:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak ada dosa bagimu untuk men-qashar shalat.” (QS. An-Nisā’: 101)
Dalil dari Sunnah
Rasulullah ﷺ selalu melaksanakan jama' dan qashar dalam safar (perjalanan). Dalam banyak hadits shahih disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ زَاغَتْ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
“Apabila Rasulullah ﷺ berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan Zuhur hingga waktu Asar, lalu menjama’ keduanya. Tapi jika beliau berangkat setelah tergelincir matahari, beliau shalat Zuhur dulu lalu berangkat.”
(HR. Bukhari no. 1105, Muslim no. 705)
Hadits ini menjadi dasar hukum jama' taqdim dan jama' ta’khir dalam safar.
Kapan Boleh Menjama' Shalat?
Para ulama menjelaskan bahwa menjama’ shalat dibolehkan dalam beberapa keadaan yang membawa kesulitan jika shalat dilakukan di waktunya masing-masing. Berikut rinciannya:
1. Dalam Perjalanan (Safar)
Ini sebab utama dan paling kuat.
Asalkan:
- Jaraknya setara minimal 80–90 km, sebagaimana disebutkan dalam banyak pendapat fuqaha.
- Niatnya memang safar, bukan sekadar keluar kota sebentar.
- Masih dalam status perjalanan, belum menetap.
Contoh kasus:
Jamaah umrah yang sedang dalam perjalanan dari Madinah ke Makkah (±450 km) boleh menjama’ Zuhur dan Asar, serta Maghrib dan Isya, baik taqdim atau ta’khir karena termasuk musafir syar’i.
2. Ketika Hujan Lebat atau Kesulitan Datang ke Masjid
Para ulama sepakat bahwa hujan yang membasahi pakaian dan dingin yang menyulitkan termasuk udzur syar’i yang membolehkan menjama’ shalat, terutama Maghrib dan Isya.
Dalil utamanya adalah hadits shahih dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما:
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا
“Rasulullah ﷺ pernah shalat di Madinah dengan menjama’ Zuhur dan Asar, serta Maghrib dan Isya.”
(HR. al-Bukhārī no. 543, Muslim no. 705)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Tanpa sebab takut dan tanpa safar.”
(HR. Muslim no. 706)
Imam Mālik dan Imam asy-Syafi’i menafsirkan hadits ini sebagai jama' karena hujan, sebagaimana dijelaskan oleh perawi hadits, Abu Sya’tsa’, yang memahami praktik itu sebagai keringanan saat turun hujan.
Contoh kasus:
Ketika hujan deras di Masjidil Haram dan jalanan licin, jamaah boleh menjama’ Maghrib-Isya di hotel atau masjid untuk kemudahan.
3. Dalam Kondisi Darurat
Seperti orang sakit, tenaga medis yang sedang bertugas operasi panjang, atau jamaah yang sedang di tengah perjalanan pesawat (terutama dari Jeddah ke Indonesia); Mereka boleh menjama’ berdasarkan kaidah:
رفع الحرج — “menghilangkan kesulitan”.
Allah azza wa jalla berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Kapan Tidak Boleh Menjama’ Shalat?
Banyak jamaah salah kaprah mengira semua situasi perjalanan berarti boleh jama’ terus. Padahal, jika sebabnya sudah hilang, maka tidak ada lagi rukhshah.
Berikut keadaan di mana tidak boleh menjama’:
1. Sudah Tiba di Tempat Tujuan dan Berniat Mukim
Jika jamaah sudah sampai di hotel Makkah atau Madinah, dan berencana tinggal lebih dari 4 hari untuk menetap, maka statusnya bukan lagi musafir, tapi mukim.
Dalam kondisi ini:
- Boleh qashar selama belum berniat mukim.
- Tapi tidak boleh menjama’ terus-menerus tanpa sebab, karena Rasulullah ﷺ selama di Makkah saat Haji Wada hanya qashar, tidak jama' kecuali ketika di Arafah dan Muzdalifah (karena ada sebab syar’i).
2. Menjama’ Tanpa Uzur
Misal karena malas, ingin cepat selesai, atau takut tertinggal makan malam di hotel, maka ini tidak dibenarkan.
Rukhshah jama' bukan untuk mempermudah tanpa alasan, tapi untuk meringankan beban ibadah dalam keadaan sulit.
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (6/59):
“Tidak boleh menjama’ tanpa sebab seperti hujan, safar, sakit, atau hajat mendesak yang dibenarkan syariat.”
3. Menjama’ Shalat yang Tidak Bisa Dijamak
Tidak semua shalat bisa dijama’. Yang bisa dijama’ hanyalah:
- Zuhur dengan Asar
- Maghrib dengan Isya
Sedangkan Subuh tidak bisa dijama’ dengan shalat lain.
Wallahu a’lam bis showab ….
Oleh: Abu Haneen
Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc
