Tawassul yang Disyariatkan

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 30 Oktober 2025, 14:54:08

 

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

Perjalanan suci ke Tanah Haram bukan hanya soal ritual, tapi juga tentang tauhid; menjaga kemurnian ibadah agar hanya tertuju kepada Allah ﷻ.

Salah satu perkara penting yang sering disalahpahami sebagian kaum muslimin adalah tawassul; yaitu mencari wasilah (perantara) dalam berdoa kepada Allah.

Pertanyaannya: Apakah semua bentuk tawassul dibenarkan dalam Islam?

Mari kita bahas dengan tenang, berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pemahaman para salafus shalih.

 

Makna Tawassul

Secara bahasa, tawassul berasal dari kata الوسيلة (al-wasīlah) yang berarti sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada sesuatu.

Sedangkan secara istilah syar’i:

التوسل هو التقرب إلى الله تعالى بما شرعه ورضيه من الأقوال والأعمال

“Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang disyariatkan dan diridhai oleh-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.”

(Majmū‘ Fatāwā Ibnu Taimiyyah, 1/202)

Artinya, tidak semua cara mendekatkan diri kepada Allah itu benar; yang benar hanyalah yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

 

Dalil Disyariatkannya Tawassul

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.”

(QS. Al-Mā’idah: 35)

Ayat ini memerintahkan kita mencari “wasilah” kepada Allah, namun bukan sembarang jalan. Para ulama salaf menjelaskan bahwa wasilah yang benar adalah amal-amal ketaatan yang diridhai Allah, bukan dengan makhluk.

Ibnu Katsir رحمه الله berkata:

“Makna 'carilah wasilah kepada-Nya’ yaitu mendekatlah kepada Allah dengan amal ketaatan yang paling diridhai.”

(Tafsīr Ibnu Katsīr, 3/124)

 

Macam Tawassul yang Disyariatkan

1. Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah

Ini adalah bentuk tawassul yang paling tinggi dan paling mulia.

Kita berdoa dengan menyebut nama dan sifat Allah yang sesuai dengan permohonan kita.

Dalilnya, firman Allah ﷻ:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

“Dan milik Allah nama-nama yang indah, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.”

(QS. Al-A‘rāf: 180)

Contohnya:

  • “Yā Ghaffār, ighfir lī” (Wahai Maha Pengampun, ampunilah aku)
  • “Yā Razzaq, urzuqnī” (Wahai Maha Pemberi Rezeki, berilah aku rezeki)

2. Tawassul dengan Amal Shalih

Yaitu seseorang bertawassul kepada Allah dengan amal salehnya yang ikhlas karena-Nya.

Contoh paling jelas adalah kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua.

Nabi ﷺ bersabda:

انطَلَقَ ثَلاثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حتّى آوَاهُمُ المَبِيتُ إلى غَارٍ، فَدَخَلُوهُ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الجَبَلِ فَسَدّتْ عَلَيْهِمُ الغَارَ...

“Tiga orang dari umat sebelum kalian sedang berjalan, lalu mereka berteduh di sebuah gua. Tiba-tiba batu besar jatuh dari gunung dan menutup pintu gua…”

(HR. Al-Bukhārī no. 2215, Muslim no. 2743)

Masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal saleh mereka; berbakti kepada orang tua, menjauhi zina, dan menunaikan amanah.

Setelah masing-masing menyebut amalnya dengan ikhlas, batu itu pun bergeser, dan mereka keluar dengan selamat.

Hadits ini dalil tegas bahwa tawassul dengan amal saleh diperbolehkan, asalkan amal itu dilakukan ikhlas karena Allah.

3. Tawassul dengan Doa Orang Shalih yang Masih Hidup

Yaitu seseorang meminta kepada orang saleh yang masih hidup agar mendoakannya.

Hal ini dibolehkan, dengan syarat tidak mengandung pengagungan berlebihan atau keyakinan bahwa orang itu memiliki kekuatan seperti kekuasaan Allah.

Dalilnya adalah permintaan sahabat kepada Nabi ﷺ agar beliau berdoa untuk mereka.

Dalam riwayat Al-Bukhari:

أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكَتِ الْأَمْوَالُ، وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ، فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا

“Seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jumat ketika Nabi ﷺ sedang berkhutbah, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, harta telah binasa, jalan-jalan terputus, maka berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami.’ Maka Nabi ﷺ berdoa dan Allah menurunkan hujan.” (HR. al-Bukhārī, no. 1014; Muslim, no. 897)

Namun perlu digarisbawahi: Ketika Nabi ﷺ wafat, para sahabat tidak lagi bertawassul dengan doa beliau, tetapi dengan doa orang saleh yang masih hidup, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab رضي الله عنه.

Umar berkata ketika terjadi kekeringan:

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا ﷺ فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا، فَاسْقِنَا

“Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan (doa) Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan (doa) paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.”

 (HR. Al-Bukhārī no. 1010)

Umar tidak berkata: “Kami bertawassul dengan Nabi ﷺ setelah wafat,” karena tawassul dengan doa beliau sudah tidak mungkin.

Yang dilakukan adalah tawassul dengan doa Abbas, paman Nabi ﷺ yang masih hidup saat itu.

 

Tawassul yang Tidak Disyariatkan

Setelah memahami yang benar, kita harus berhati-hati dari bentuk tawassul yang tidak diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat, di antaranya:

1. Tawassul dengan dzat Nabi atau orang salih setelah wafat

Seperti mengatakan: “Ya Rasulullah, tolonglah kami,” atau “Wahai wali fulan, kabulkan doa kami.”

Ini termasuk syirik kecil bahkan bisa besar, tergantung keyakinannya.

Karena doa adalah ibadah, dan ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah semata.

Dalilnya:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada siapa pun di samping Allah.”

(QS. Al-Jinn: 18)

2. Tawassul dengan kedudukan atau hak makhluk

Misalnya berdoa: “Ya Allah, dengan hak Nabi-Mu, berikanlah aku rezeki.”

Para ulama menjelaskan: tidak ada dalil dari Nabi ﷺ maupun sahabat yang melakukannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Adapun bertawassul dengan iman kepadanya, mencintainya, menaati perintahnya, dan berdoa kepada Allah melalui syafaatnya — maka itu disyariatkan. Namun bertawassul dengan dzat, kedudukan (jāh), atau hak beliau, bukanlah amalan salaf; tidak dinukil dari seorang pun di antara mereka — baik para sahabat, tabi‘in, maupun imam empat mazhab 

Majmū‘ al-Fatāwā, (1/140).

 

Penutup: Wasilah Teragung adalah Tauhid

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Ketahuilah bahwa wasilah terbesar menuju Allah bukanlah dengan perantara makhluk, tetapi dengan tauhid dan amal saleh.

Allah ta'ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal saleh dan tidak mempersekutukan dalam ibadahnya kepada Rabbnya seorang pun.”

(QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Kandungan ayat:

“Amal saleh” → wasilah mendekatkan diri kepada Allah.

“Tidak mempersekutukan” → tauhid yang murni.

Inilah dua wasilah agung: amal saleh dan tauhid. Tanpa keduanya, doa dan ibadah tidak diterima.

Semoga Allah ﷻ memberikan taufik kepada kita semua untuk berdoa hanya kepada-Nya, dengan wasilah yang disyariatkan, agar seluruh ibadah kita diterima, dosa diampuni, dan hati kita bersih dari noda kesyirikan.

 

Wallahu a’lam bis showab ....

 

 

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id