Jika Wanita Haid Saat Umrah

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 30 Oktober 2025, 17:03:26

 

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

Banyak jamaah wanita yang semangatnya luar biasa ketika berangkat umrah. Sudah menabung sekian lama, sudah latihan manasik, bahkan sudah hafal doa-doanya. Tapi di hari keberangkatan, tiba-tiba datang tamu bulanan; haid.

Lalu muncul rasa cemas, “Ya Allah, gimana ini? Boleh nggak saya niat ihram? Apa harus tunggu suci dulu? Atau saya boleh minum obat penunda haid?”

Nah, inilah yang sering jadi kebingungan banyak jamaah. Padahal sebenarnya, Islam sudah mengatur hal ini dengan sangat bijak dan ringan.

 

Haid Bukan Penghalang Menuju Baitullah

Pertama-tama, kita perlu tahu dulu: haid tidak membatalkan niat ihram.

Karena ihram itu bukan ibadah fisik seperti thawaf atau shalat. Ihram adalah niat hati untuk memulai ibadah umrah atau haji. Dan niat tidak bergantung pada kesucian tubuh, tapi pada kesungguhan hati.

Jadi kalau seorang wanita sedang haid di miqāt, atau bahkan di pesawat ketika melewati miqāt; dia tetap wajib berniat ihram.

Tidak boleh menundanya sampai suci, sebab kalau miqāt sudah terlewati tanpa ihram, justru ada konsekuensi berupa dam (menyembelih kambing di Makkah).

Diriwayatkan dalam sebuah hadits:

لَا يُجَاوِزُ أَحَدٌ الْمِيقَاتَ إِلَّا وَهُوَ مُحْرِمٌ

“Tidak boleh seorang pun melewati miqāt kecuali dalam keadaan berihram.” (HR. Thabarani)

Dalil lain adalah peristiwa yang terjadi pada Asma’ binti ‘Umais, istri Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhumā, ketika melahirkan di tempat bernama Dzul Hulaifah (miqāt penduduk Madinah) saat Nabi ﷺ hendak berangkat haji.

Asma’ mengutus seseorang untuk bertanya kepada Nabi ﷺ tentang apa yang harus ia lakukan. Maka beliau ﷺ bersabda:

“Mandilah, kemudian ikatlah kain pada bagian kemaluanmu, lalu masuklah ke dalam ihram.”

Yang dimaksud dengan “mengikat kain” ialah menutup area kemaluan dengan kain dan mengikatnya agar darah tidak mengotori pakaian, kemudian ia berihram untuk haji atau umrah.

Darah haid memiliki hukum yang sama dengan darah nifas, maka ketika wanita haid tiba di miqāt, hendaknya:

  • ia mandi, 
  • menutup bagian kemaluan dengan kain, 
  • lalu berniat ihram, sesuai dengan hadits tersebut.

Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ kepada ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā ketika beliau haid saat umrah:

افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

“Lakukanlah semua yang dilakukan oleh jamaah haji, hanya saja jangan thawaf di Ka‘bah sampai engkau suci.”

(HR. al-Bukhari no. 1650 dan Muslim no. 1211)

 

Komite Fatwa Tetap (Al-Lajnah Ad-Dā’imah) pernah ditanya tentang hukum haji wanita yang sedang haid, mereka menjawab:

“Wanita yang sedang haid tidak terhalang dari melaksanakan haji. Jika ia telah berihram dalam keadaan haid, maka ia boleh melakukan seluruh amalan haji kecuali thawaf di Ka‘bah hingga darahnya berhenti dan ia mandi. Hukum ini juga berlaku bagi wanita yang nifas. Jika ia melaksanakan seluruh rukun haji lainnya, maka hajinya sah.”

(Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah, 11/172)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullāh juga pernah ditanya tentang seorang wanita yang masuk Masjidil Haram, lalu thawaf dan shalat dalam keadaan haid.

Beliau menjawab:

“Tidak boleh bagi wanita yang sedang haid atau nifas untuk melaksanakan shalat — baik di Makkah, di negerinya sendiri, maupun di tempat lain — karena Nabi ﷺ bersabda:

‘Bukankah bila wanita haid ia tidak shalat dan tidak berpuasa?’

Kaum muslimin juga telah bersepakat bahwa wanita haid tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa.

Maka wanita yang melakukannya wajib bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan atas perbuatannya.

Adapun thawaf yang dilakukan dalam keadaan haid tidak sah, sedangkan sa‘inya sah, karena pendapat yang kuat menyatakan boleh melakukan sa‘i sebelum thawaf dalam ibadah haji.

Oleh karena itu, ia wajib mengulang thawaf, sebab thawaf ifadhah termasuk rukun haji dan tidak sempurna tahallul kedua tanpa thawaf tersebut.

Maka suami tidak boleh menggaulinya hingga ia thawaf.

Bila belum menikah, maka ia tidak boleh menikah sampai ia menyelesaikan thawaf tersebut.”

(Majmū‘ Fatāwā Syaikh Muhammad bin Shālih al-‘Utsaimīn, 22/382)

 

Kondisi Jamaah Zaman Sekarang: Miqāt di Udara

Zaman sekarang, kita tidak lagi berangkat naik unta atau kapal laut berhari-hari. Mayoritas jamaah pergi dengan pesawat, yang artinya miqāt akan dilewati di udara misalnya Yalamlam bagi jamaah dari Indonesia.

Pilot tentu tidak bisa “berhenti dulu sebentar di miqāt,” maka jamaah wanita yang sedang haid tetap harus siap dari awal. Caranya mudah:

  • Sebelum berangkat, mandi sunnah ihram dari rumah atau hotel.
  • Pakai pakaian ihram yang longgar, bersih, dan tanpa wewangian.
  • Saat pilot atau tour leader mengumumkan pesawat akan melewati miqāt, langsung niat dalam hati: “Labbaikallāhumma ‘umrah.”
  • Selesai. Ihramnya sudah sah, meski dalam keadaan haid.

Setelah tiba di Makkah, tinggal menunggu suci, baru nanti melakukan thawaf, sa’i, dan tahallul.

 

Jika Sudah Sampai Makkah Tapi Masih Haid

Begitu sampai, jangan panik kalau darah belum berhenti. Tidak perlu memaksakan diri thawaf atau masuk Masjidil Haram. Cukup istirahat dan tunggu hingga suci dengan tetap menjaga larangan-larangan ihram.

Begitu suci, lakukan hal berikut:

  1. Mandi bersih.
  2. Masuk Masjidil Haram dengan tenang.
  3. Lakukan thawaf, kemudian sa’i.
  4. Gunting rambut seukuran panjang satu ruas jari, dan selesai. Maka umrah sah dan sempurna.

Tidak perlu khawatir ibadah Anda tertunda, karena niat sudah diambil sejak di miqāt.

 

Tentang Obat Penunda Haid

Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Azīz bin Bāz rahimahullāh

  • Pertanyaan:

Apakah boleh bagi seorang wanita untuk mengonsumsi pil penunda haid agar bisa melaksanakan kewajiban haji? Jika tidak diperbolehkan, adakah alternatif lain yang bisa dilakukan?

  • Jawaban:

Tidak mengapa seorang wanita mengonsumsi pil pencegah haid agar tidak mengalami menstruasi selama bulan Ramadhan atau musim haji, supaya ia dapat berpuasa dan melakukan thawaf (mengelilingi Ka‘bah).

Tidak mengapa pula menggunakan cara lain yang dapat mencegah haid, selama tidak mengandung hal yang diharamkan dan tidak membahayakan tubuh.

(Majmū‘ al-Fatāwā Ibn Bāz, jilid 17, hlm. 60–61)

Fatwa ini menegaskan bolehnya penggunaan obat penunda haid dengan dua syarat utama:

  1. Aman secara medis (tidak berbahaya)
  2. Tidak mengandung unsur yang haram

Dengan kata lain, ini adalah bentuk rukhshah (keringanan) agar wanita tetap bisa menyempurnakan ibadahnya tanpa harus melanggar batas syar‘i.

 

Kesalahan yang Sering Terjadi

Beberapa hal penting perlu diingat agar jamaah tidak keliru:

  • Menunda ihram sampai tiba di hotel. Ini tidak boleh, karena miqāt sudah terlewati. Akibatnya wajib dam.
  • Mengira wanita haid tidak boleh berihram, salah besar. Ihram boleh dan sah, yang dilarang hanya thawaf.
  • Memaksa thawaf saat masih haid. Hukumnya tidak sah, bahkan bisa membatalkan umrah.

 

Penutup

Haid bukan penghalang untuk menuju Baitullah.

Islam memuliakan wanita dengan aturan yang penuh kasih sayang. Allah tidak membebani kita di luar kemampuan, bahkan dalam keadaan haid pun pintu ketaatan tetap terbuka lebar.

Jadi, jangan risau kalau tamu bulanan datang di waktu keberangkatan.

Tetap tenang, niatkan ihram di miqāt, jalani dengan sabar, dan nanti setelah suci, sempurnakan ibadah dengan thawaf dan sa’i.

Haid itu bukan penghalang menuju Ka’bah, hanya jeda sejenak untuk bersih lahir dan batin sebelum menghadap Allah.

Dan siapa yang sabar menunggu suci di tanah haram Insya Allah, Allah akan menulis pahala baginya sebagaimana orang yang tetap beribadah. 

 

Wallahu a’lam bis showab ....

 

 

 

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id