Hamzah bin Abdul Muththalib رضي الله عنه

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 22 November 2025, 12:50:14

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ala Rasulillah. Amma ba'du....

Allah Ta'ala berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًاۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka, diberi rezeki.”

(QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)

Ketika seorang jamaah umrah menatap langit Madinah atau melewati area Uhud yang gagah menjulang, mungkin ia tak sadar tanah itu dulu bergetar oleh keberanian para syuhada. Di antara nama besar yang harum di sana, berdirilah sosok gagah yang dijuluki Asadullāh — Singa Allah — Hamzah bin ‘Abdul Muththalib رضي الله عنه, paman sekaligus sahabat Rasulullah ﷺ yang menjadi simbol keberanian sejati.

Kisah Hamzah bukan hanya cerita perang dan pedang, tapi kisah iman, loyalitas, dan cinta yang tulus kepada Rasulullah ﷺ. Dalam perjalanan suci seperti umrah, merenungi jejak beliau adalah cara lembut menumbuhkan semangat berkorban dan menghidupkan kembali jiwa perjuangan Islam bukan di medan tempur, tapi dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Panji Pertama dan Awal Keberanian

Ketika izin jihad turun dari Allah, Rasulullah ﷺ mengangkat panji pertama Islam dan menyerahkannya kepada Hamzah. Beliau memimpin tiga puluh Muhajirin untuk menghadang kafilah Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahal. Dua pasukan siap bertempur di daerah pesisir Laut Merah, namun akhirnya perang itu batal setelah dimediasi oleh seorang tokoh kabilah yang netral, Majdi bin ‘Amr al-Juhani (lihat Ash-Shahābah, hlm. 305).

Kisah ini sederhana tapi sarat makna. Hamzah bukan berani tanpa arah. Ia tidak menumpahkan darah hanya demi dendam atau gengsi, melainkan karena panggilan Rasulullah ﷺ. Inilah yang membedakan keberanian seorang mukmin dengan keberanian orang jahiliah; berani tapi taat, kuat tapi terukur.

 

Pahlawan Tangguh di Perang Badar

Dalam perang Badar al-Kubra — perang besar pertama umat Islam — Hamzah tampil di barisan depan. Rasulullah ﷺ memanggil tiga pejuang terbaik: Hamzah, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Ubaidah bin al-Harits. Mereka maju untuk duel (mubārazah) melawan tiga jawara Quraisy: Utbah, Syaibah, dan al-Walid bin Utbah.

Hamzah berhadapan langsung dengan Utbah bin Rabi‘ah, dan dengan satu sabetan, ia menewaskan musuhnya. (Riwayat dalam Ash-Shahābah, hlm. 306)

Tentang peristiwa itu, Allah menurunkan firman-Nya:

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

“Inilah dua golongan yang berselisih tentang Rabb mereka.”

(QS. Al-Hajj [22]: 19)

Menurut Abu Dzar al-Ghifari رضي الله عنه, ayat ini turun tentang orang-orang yang berduel di Badar: Hamzah, Ali, dan ‘Ubaidah di pihak mukminin, serta Utbah, Syaibah, dan al-Walid di pihak kafir Quraisy. (Ash-Shahābah, hlm. 306)

Maka pantaslah Hamzah disebut bukan hanya pahlawan Islam, tapi juga simbol kekuatan iman yang menundukkan kesombongan kekufuran.

 

Kesaksian Para Sahabat

Sahabat besar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf رضي الله عنه, pernah berkata sambil menangis:

“Hamzah telah gugur, padahal dia lebih baik dariku. Kini dunia dilapangkan bagi kami; kami takut kebaikan kami telah dibayar di dunia.”

(HR. al-Bukhārī no. 1275, dikutip dalam Shahīhul Musnad min Fadhā’il ash-Shahābah, hlm. 183)

Ungkapan ini menyentuh hati. Para sahabat tidak iri dengan kehebatan Hamzah, tapi justru takut amal mereka tidak sebanding. Mereka tahu: kehormatan sejati bukan pada panjangnya hidup, tapi pada seberapa kuat iman bertahan di saat sulit.

 

Tragedi Uhud: Saat Singa Allah Gugur

Perang Uhud menjadi babak menyayat. Kaum Quraisy ingin membalas kekalahan mereka di Badar. Di antara mereka ada Wahsyi, seorang budak Habasyi yang dijanjikan kebebasan jika berhasil membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas pamannya yang terbunuh di Badar.

Dengan keahlian melempar tombak, Wahsyi menunggu dari jauh hingga ia melihat sosok tinggi besar Hamzah di tengah pertempuran, berjuang bagai singa di padang. Ia melemparkan tombaknya tepat mengenai bagian bawah perut Hamzah hingga menembus tubuhnya. Hamzah pun jatuh dan syahid. (Lihat Ash-Shahābah, hlm. 309–310)

Setelah Islam menang dan Makkah ditaklukkan, Wahsyi datang memeluk Islam. Ia menghadap Rasulullah ﷺ dan mengaku sebagai pembunuh Hamzah. Rasulullah ﷺ mendengarkan kisahnya, lalu bersabda dengan suara berat:

“Celaka engkau, jangan tampakkan dirimu di hadapanku.”

(Ash-Shahābah, hlm. 310)

Bukan karena dendam, tetapi karena luka di hati Nabi ﷺ terhadap pamannya terlalu dalam. Hamzah bukan sekadar keluarga ia adalah benteng Rasulullah ﷺ di masa-masa awal dakwah.

Menariknya, Wahsyi kemudian menebus dosanya dengan membunuh Musailamah al-Kadzdzāb, nabi palsu yang memerangi Islam. Ia berkata,

“Dengan tombak yang sama aku telah membunuh orang terbaik di muka bumi, dan juga orang yang paling jahat.”

Sebuah penebusan yang penuh makna.

 

Hamzah Hidup di Sisi Rabbnya

Usai tragedi Uhud, Allah Ta'ala menurunkan ayat:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dan diberi rezeki.”

(QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)

Menurut Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما, ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah dan para syuhada Uhud. (Lihat Ash-Shahābah, hlm. 307)

Dalam hadits riwayat Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي جَوْفِ طُيُورٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ

“Sesungguhnya ruh para syuhada berada dalam perut burung hijau. Burung-burung itu memiliki lentera-lentera yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka terbang bebas di surga ke mana pun mereka kehendaki, lalu kembali bernaung ke lentera-lentera tersebut.” (HR. Muslim no. 1887)

 

Cinta Rasulullah ﷺ kepada Hamzah

Anas رضي الله عنه meriwayatkan bahwa saat Rasulullah ﷺ melihat jasad Hamzah di Uhud, tubuhnya telah dicabik, dada terbelah, dan hati beliau remuk.

Beliau bersabda:

“Seandainya Shafiyyah (saudari Hamzah) tidak akan bersedih, niscaya kubiarkan jasad ini hingga Allah mengumpulkannya di perut binatang dan burung.”

(Ash-Shahābah, hlm. 309)

Hadits itu menggambarkan betapa dalam kasih sayang Rasulullah ﷺ kepada pamannya, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Beliau begitu sedih melihat jasad Hamzah yang telah dicabik musuh, namun tetap menahan diri dari tindakan emosional. Ucapan beliau, “Seandainya Shafiyyah tidak akan bersedih...” menunjukkan keinginan Nabi ﷺ agar Hamzah tetap dikenang sebagai syahid sejati—bahkan seandainya jasadnya dimakan binatang pun, itu tak akan mengurangi kemuliaannya di sisi Allah.

Dengan kata lain, Rasulullah ﷺ ingin menegaskan bahwa kehormatan seorang syahid tidak terletak pada keutuhan jasadnya, tetapi pada kemurnian niat dan pengorbanannya di jalan Allah.

 

Penutup: Teladan Bagi Jamaah Umrah

Wahai jamaah umrah, ketika engkau berdiri di kaki Gunung Uhud, menatap tanah tempat gugurnya para syuhada, ketahuilah di sanalah jasad Hamzah bin ‘Abdul Muththalib رضي الله عنه, singa Allah dan Rasul-Nya.

Keberanian beliau bukan sekadar cerita sejarah. Ia adalah pelajaran aqidah dan akhlak bagi setiap Muslim: bahwa kemenangan bukan diukur dengan banyaknya musuh yang tumbang, tetapi dengan teguhnya hati di atas kebenaran.

Keberanian sejati bukan dengan menghunus pedang tanpa ilmu, tetapi dengan menundukkan hawa nafsu, bersabar di atas sunnah, jujur dalam ucapan, dan istiqamah di tengah fitnah.

Itulah jihad yang paling berat sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ

“Seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.”

(HR. Ahmad, no. 24013; dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Maka saat engkau berdoa di hadapan makam para syuhada, jangan sekedar meneteskan air mata karena kisah hamzah yang mulia.

Berdoalah agar Allah menjadikan kita teguh di atas tauhid, istiqamah di atas sunnah, dan sabar dalam dakwah, sebagaimana Hamzah teguh di medan Uhud hingga akhir hayatnya.

Semoga Allah menerima umrah kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan menjadikan perjalanan ini sebagai titik awal jihad terbesar jihad memperbaiki diri, keluarga, dan umat di atas jalan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.

 

 

Referensi:

Ash-Shahābah, Syaikh Shālih bin Thāha ‘Abdul Wāhid, Maktabah al-Ghurabā’, Dār al-Atsariyyah, cet. 1, 1427 H.

Ash-Shahīhul Musnad min Fadhā’il ash-Shahābah, Abu ‘Abdillah Musthafa al-‘Adawi, Dār Ibnu ‘Affān.

 

 

 

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id