Mush‘ab bin ‘Umair رضي الله عنه

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 22 November 2025, 17:33:22

 

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

Ketika jamaah umrah berdiri di kaki Gunung Uhud, di hadapan tanah yang menjadi saksi perjuangan para syuhada, ada satu nama yang selalu disebut dengan penuh haru, ialah Mush‘ab bin ‘Umair رضي الله عنه.

Namanya mungkin tak setenar Abu Bakar atau Umar, tetapi kisah hidupnya adalah puisi pengorbanan yang mengguncang hati siapa pun yang mencintai Allah Ta'ala dan Rasul-Nya ﷺ.

Uhud bukan sekedar bukit. Ia adalah monumen cinta antara manusia dan Rabb-nya. Di sanalah darah para sahabat menetes, bukan karena haus kekuasaan, tapi karena kerinduan untuk bertemu Allah Ta'ala.

Dan di antara darah-darah suci itu, mengalir darah seorang pemuda Quraisy yang dulunya hidup bergelimang kemewahan, lalu meninggalkan semuanya demi Islam. Dialah Mush‘ab bin ‘Umair utusan pertama Rasulullah ﷺ, juru dakwah pertama ke Madinah, dan syahid pertama dari kalangan Muhajirin di medan Uhud.

 

Masa Muda: Permata Quraisy yang Digilai Dunia

Mush‘ab bin ‘Umair رضي الله عنه lahir dari keluarga bangsawan Quraisy, Bani ‘Abd ad-Dar satu kabilah terpandang di Makkah. Ayahnya seorang yang disegani, dan ibunya, Khunas binti Malik, dikenal sangat kaya dan keras memegang kehormatan keluarga.

Mush‘ab tumbuh dalam kelembutan, kekayaan, dan kemewahan. Ia dikenal sebagai pemuda paling tampan di Makkah, berpakaian paling indah, beraroma paling wangi, dan paling disukai banyak orang.

Para pemuda Makkah menirunya, dan para wanita Quraisy memujinya. Bila ia lewat di jalan, semerbak harum kasturi mendahuluinya sebelum sosoknya tampak di kejauhan. Dunia seakan bersujud di kakinya.

Namun, semua itu hanya berlangsung hingga cahaya Islam menyentuh hatinya.

 

Hidayah: Cahaya yang Mengalahkan Gemerlap Dunia

Ketika dakwah Islam masih berlangsung secara sembunyi di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, Mush‘ab mendengar tentang seorang nabi yang menyeru pada tauhid dan akhlak. Hatinya bergetar bukan karena penasaran duniawi, tapi karena kerinduan akan kebenaran.

Ia pun datang diam-diam ke rumah Al-Arqam dan bertemu Rasulullah ﷺ.

Sekali mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, hatinya tunduk seketika.

Tak ada perdebatan, tak ada tawar-menawar. Kalimat “Lā ilāha illallāh, Muhammadur Rasūlullāh” meluncur dari lisannya seperti air mengalir di lembah yang haus.

Sejak saat itu, hidup Mush‘ab berubah selamanya. Ia menjadi pemuda pertama yang memeluk Islam dari kalangan bangsawan Quraisy.

Namun, kabar keislamannya segera sampai ke telinga ibunya. Amarah sang ibu meledak. Mush‘ab pun dihukum, dikurung, dan diputus dari segala fasilitas dunia. Ia yang dulunya mengenakan pakaian sutra kini mengenakan kain kasar. Ia yang tidur di kasur empuk kini tidur di tanah.

Tapi Mush‘ab tidak gentar.

Ketika banyak pemuda Makkah sibuk membela status sosial, ia justru membela risalah tauhid. Ketika yang lain mengejar gengsi, ia mengejar ridha Ilahi.

Dalam Shahih Bukhari dari Khabbab bin al-Aratt رضي الله عنه, ia berkata:

“Kami mengadu kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau sedang berbaring berselimut di bawah naungan Ka‘bah. Kami berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memohon pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami? Beliau menjawab:

‘Dahulu ada seorang lelaki dari umat sebelum kalian, digalikan lubang baginya, lalu ia diletakkan di dalamnya. Kemudian digergaji kepalanya hingga terbelah dua, namun itu tidak membuatnya meninggalkan agamanya. Daging dan uratnya disisir dengan sisir besi, namun ia tetap teguh. Demi Allah, agama ini pasti akan sempurna hingga orang berkendara dari Shan‘a ke Hadramaut tidak takut kecuali kepada Allah atau seperti serigala terhadap dombanya. Tetapi kalian tergesa-gesa.’” (HR. Bukhori no. 3612)

 

Hijrah ke Habasyah dan Madinah: Duta Dakwah Pertama

Setelah tekanan semakin berat, Mush‘ab ikut dalam rombongan sahabat yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Namun, ketika mendengar kabar bahwa kaum Quraisy telah berdamai dengan Rasulullah ﷺ (yang ternyata kabar palsu), ia kembali ke Makkah.

Tak lama kemudian, Allah menakdirkannya untuk menerima tugas suci yang sangat besar; Rasulullah ﷺ mengutusnya sebagai duta dakwah pertama ke Madinah setelah perjanjian ‘Aqabah al-Ūlā.

Bayangkan: seorang pemuda, tanpa bekal besar, tanpa pasukan, hanya dengan Al-Qur’an di dada dan iman di hati, diutus menyiapkan fondasi bagi lahirnya negara Islam pertama.

Di Madinah, Mush‘ab tidak membangun gedung, tapi membangun jiwa.

Ia mengajarkan Al-Qur’an dari rumah ke rumah, memperkenalkan Islam dengan tutur lembut dan akhlak yang memikat.

Melalui dakwahnya, dua tokoh besar Madinah; Sa‘d bin Mu‘ādz dan Usaid bin Hudhair masuk Islam. Dengan masuk Islamnya keduanya, suku Aus dan Khazraj pun menyusul.

Madinah pun berubah. Dari kota yang dulu penuh perang saudara, kini menjadi kota yang bersatu di bawah cahaya iman.

Dan semua itu, atas izin Allah Ta'ala, bermula dari dakwah seorang pemuda yang meninggalkan segala kemewahan dunia.

Dalam Shahih Bukhari, al-Bara’ رضي الله عنه berkata:

“Orang pertama yang datang kepada kami (di Madinah) adalah Mush‘ab bin ‘Umair dan Ibnu Ummi Maktum; keduanya mengajarkan Al-Qur’an kepada kami. Lalu datang Bilal, Sa‘d, dan ‘Ammar bin Yasir. Setelah itu datang ‘Umar bin al-Khaththab bersama dua puluh sahabat lainnya. Kemudian datang Rasulullah ﷺ aku belum pernah melihat penduduk Madinah bergembira sebesar kegembiraan mereka menyambut beliau. Bahkan para budak perempuan pun berkata: ‘Rasulullah telah datang!’ Saat beliau tiba, aku sudah hafal surat Sabbiḥisma Rabbikal-A‘lā dan beberapa surat pendek.” 

(Dikutip dari Asad al-Ghābah karya Ibnu al-Atsīr (jilid 4, halaman 134)).

 

Uhud: Saat Bendera Jatuh dan Jiwa Terbang ke Langit

Pada tahun ketiga hijriyah, Mush‘ab ikut serta dalam Perang Uhud sebagai pembawa panji kaum Muslimin. Ia bertempur gagah berani, melindungi Nabi ﷺ ketika barisan Muslim goyah dan pasukan musyrik menyerang.

Seorang musyrik bernama Ibn Qumai’ah (semoga laknat Allah atasnya) menyerang Mush‘ab dan memotong tangan kanannya. Mush‘ab tetap memegang bendera dengan tangan kiri sambil membaca:

“Muhammad hanyalah seorang rasul. Sungguh, telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika ia wafat atau terbunuh kamu akan berbalik ke belakang?” (QS. Āli ‘Imrān: 144)

Tangan kirinya pun dipotong, lalu ia memeluk bendera dengan kedua pangkal lengannya hingga ia ditusuk tombak di dadanya dan gugur sebagai syahid. Allah Ta'ala berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Dari kalangan orang beriman ada orang-orang yang menepati janjinya kepada Allah; di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada yang menunggu, dan mereka tidak mengubah janjinya sedikit pun.”

(QS. Al-Ahzab: 23)

 

Pemakaman: Kain Kafan yang Tak Cukup

Usai perang, Rasulullah ﷺ menatap tubuh sahabatnya itu dengan mata basah.

Para sahabat hanya menemukan sehelai kain kasar (namirah) untuk mengafani Mush‘ab. Bila kepalanya ditutup, kakinya tampak; bila kakinya ditutup, kepalanya terbuka.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tutuplah kepalanya, dan letakkan di kakinya seikat rumput idzkhir.”

Ia meninggal tanpa meninggalkan harta, padahal dahulu hidup dalam kemewahan. Ia rela meninggalkan dunia demi ridha Allah. Allah Ta'ala berfirman:

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” (QS. an-Naḥl: 96)

Dalam Musnad Ahmad, dari Abu Qatadah dan Abu Dahmā’, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ.

“Tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, melainkan Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad no. 23074)

 

Pelajaran Abadi: Menjual Dunia untuk Surga

Kisah Mush‘ab bin ‘Umair bukan sebatas sejarah. Ia adalah cermin bagi setiap hati yang sedang diuji oleh dunia.

Ia meninggalkan parfum Makkah untuk mencium harumnya surga.

Ia menukar sutra dengan kain kasar agar bisa mengenakan jubah kemuliaan di sisi Allah.

Ia melepaskan gengsi keluarga demi kemuliaan iman.

Para ulama berkata:

“Mush‘ab bin ‘Umair adalah simbol pemuda mukmin yang menjual dunia untuk akhirat.”

Ia bukan gagal karena mati muda ia menang karena hidupnya bermakna.

Dan hari ini, setiap kali nama Uhud disebut, nama Mush‘ab akan selalu hidup bersama para syuhada.

 

Renungan untuk Jamaah Umrah

Para jamaah yang sedang berziarah ke Uhud, berhentilah sejenak di hadapan tanah merah ini.

Bayangkan! Di bawah pasir ini bersemayam seorang pemuda yang meninggalkan segala kesenangan demi Rabb-nya.

Tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang telah aku korbankan untuk Allah?”

Kita datang ke Tanah Suci dengan pakaian terbaik, namun ibadah tidak diukur dari pakaian, melainkan dari pengorbanan.

Kita bersujud di karpet Masjid Nabawi yang lembut dan harum, sementara Mush‘ab pernah sujud di tanah keras, lapar dan berdebu, hanya karena ingin menegakkan kalimat Lā ilāha illallāh.

Semoga ziarah ini tidak berhenti pada foto dan doa saja, tapi menjadi api yang membakar semangat kita untuk berjuang di jalan Allah Ta'ala, sekecil apa pun bentuknya dengan ilmu, harta, waktu, atau tenaga.

 

Penutup: Doa di Kaki Gunung Uhud

Ya Allah,

Sebagaimana Engkau muliakan Mush‘ab bin ‘Umair dengan syahid di jalan-Mu, muliakanlah kami dengan keikhlasan dalam ibadah kami.

Jadikan kami hamba yang rela meninggalkan dunia demi akhirat, rela meninggalkan kemewahan demi ridha-Mu.

Jangan Engkau biarkan kami pulang dari umrah ini dengan hati yang sama seperti sebelum kami datang.

Anugerahkan kepada kami hati yang lembut seperti hati Mush‘ab, dan semangat dakwah seperti semangatnya.

 

Wallahu a’lam bis showab ....

 

 

Sumber: Siyar A’lam Nubala karya Adz-Dzahabi dengan penyesuaian

 

 

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id