Hanzhalah bin Abi ‘Amir رضي الله عنه
Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....
Setiap panggilan menuju Tanah Suci adalah undangan istimewa dari Allah. Bukan sekedar perjalanan ibadah biasa, tapi perjalanan jiwa untuk membersihkan hati dari dunia, menuju Rabb yang Maha Suci.
Sebagaimana jihad bagi para sahabat dahulu adalah panggilan agung yang datang sekali seumur hidup, demikian pula panggilan menuju Makkah dan Madinah bagi kita hari ini panggilan menuju taubat, menuju ketundukan, menuju ridha Allah.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus; mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”
(QS. Al-Ḥajj: 27)
Setiap jamaah yang meninggalkan rumahnya menuju Tanah Suci membawa cinta, harapan, dan doa. Tapi di antara kisah para salaf, ada satu kisah yang mengguncang hati; kisah seorang sahabat yang meninggalkan segalanya, bahkan malam pertamanya bersama istri yang baru dinikahi, demi menjawab panggilan Rasul ﷺ untuk berjihad di jalan Allah Ta'ala.
Kisah Sang Syahid: Hanzhalah bin Abi ‘Amir رضي الله عنه
Malam itu adalah malam yang penuh bahagia.
Hanzhalah baru saja menikah dengan Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, putri dari tokoh munafik terkenal di Madinah.
Ia telah lama menanti hari itu, hari di mana Allah Ta'ala mengizinkannya bersanding dengan wanita yang dicintainya secara halal.
Ketika malam berlalu dan waktu Subuh menjelang, muadzin menyeru:
الصلاة خيرٌ من النوم
“Shalat lebih baik daripada tidur.”
Hanzhalah keluar untuk melaksanakannya. Setelah shalat, ia kembali ke rumahnya dan berhubungan dengan istrinya, sehingga ia dalam keadaan junub.
Namun belum sempat ia mandi, terdengarlah seruan yang lain, bukan panggilan adzan, tetapi panggilan jihad:
!يا خيلَ اللهِ اركبي، حيَّ على الجهاد
“Wahai pasukan Allah, berangkatlah! Marilah menuju jihad!”
Tanpa berpikir panjang, ia segera bangkit. Tidak ada waktu untuk mandi, tidak ada waktu untuk pamit panjang. Ia hanya mengenakan perisai dan mengambil pedangnya.
Sebelum pergi, istrinya memanggil empat orang dari kaumnya untuk menjadi saksi bahwa ia telah digauli suaminya.
Sebab ia bermimpi aneh: langit terbuka, Hanzhalah naik ke dalamnya, lalu tertutup kembali. Ia yakin itu adalah pertanda syahid.
Di Medan Uhud: Antara Cinta dan Surga
Sesampainya di medan Uhud, Rasulullah ﷺ sedang menata barisan kaum muslimin.
Hanzhalah langsung bergabung. Perang pun berkobar.
Di antara asap, debu, dan gemuruh pedang, ia berhadapan dengan Abu Sufyan bin Harb, pemimpin Quraisy. Dengan gagah ia menyerang hingga menjatuhkan Abu Sufyan dari kudanya, hendak menebasnya.
Namun tiba-tiba datang asy-Syaddad bin al-Aswad (atau al-Aswad bin Sya‘ub) yang menikam Hanzhalah dengan tombak, hingga beliau gugur sebagai syahid.
Tubuhnya jatuh bersimbah darah.
Ia menatap langit, tersenyum, Hanzhalah pun gugur sebagai syahid, di usia muda, di hari setelah pernikahannya, dalam keadaan belum sempat mandi junub.
Kemuliaan di Langit: Dimandikan oleh Para Malaikat
Ketika perang usai, Rasulullah ﷺ menelusuri para syuhada.
Beliau berhenti lama di sisi jenazah Hanzhalah.
Wajah beliau ﷺ berubah terlihat kekaguman bercampur haru.
Para sahabat pun bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang Engkau lihat?”
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ صَاحِبَكُمْ حَنْظَلَةَ تُغَسِّلُهُ الْمَلَائِكَةُ
“Sesungguhnya sahabat kalian, Hanzhalah, sedang dimandikan oleh para malaikat.”
Beliau ﷺ kemudian bersabda lagi:
فَسَلُوا صَاحِبَتَهُ مَا شَأْنُهُ؟
“Tanyakanlah kepada istrinya, apa yang terjadi padanya?”
Mereka pun mendatangi istrinya, dan wanita itu menjawab:
“Ia keluar dalam keadaan junub ketika mendengar seruan perang.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
فَذَاكَ قَدْ غَسَلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ
“Itulah sebabnya para malaikat memandikannya.”
(HR. Ibnu Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān, dari ‘Abdullāh bin az-Zubair, no. 7025.)
Refleksi: Semangat yang Melewati Batas Dunia
Sungguh, kisah ini bukan sekedar sejarah perang. Ini adalah lukisan cinta seorang mukmin kepada Rabb-nya dan Rasul-nya.
Ketika dunia menawarkan kenikmatan, Hanzhalah memilih keabadian.
Ketika ia bisa menunda sebentar untuk mandi dan berpamitan, ia memilih bergegas memenuhi panggilan iman.
Mungkin bagi manusia, ia keluar dalam keadaan belum suci.
Namun bagi Allah, itu adalah kesucian tertinggi, sebab ia mempertaruhkan segalanya demi agama-Nya.
Para malaikat pun turun memandikannya dengan air dari awan (ماءٍ من مَزْنٍ) dan dengan bejana-bejana perak (صِحَافِ الفِضَّةِ), sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat.
Itulah tanda penerimaan dan kemuliaan dari langit.
Pesan Hikmah untuk Jamaah Umrah
Wahai jamaah yang sedang menuju Tanah Suci, setiap langkah kalian adalah panggilan dari Allah panggilan menuju taubat, kebersihan jiwa, dan pembaruan iman.
Kisah Hanzhalah mengingatkan kita bahwa keikhlasan dan kesiapan berkorban adalah kunci kemuliaan di sisi Allah.
Tidak semua orang dimandikan malaikat. Tapi setiap orang bisa mensucikan dirinya dengan keikhlasan, kesungguhan, dan cinta kepada Allah.
Umrah bukan sekadar perjalanan fisik, ia adalah latihan hati untuk siap berkata,
“...لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْك”
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah…”
Sebagaimana Hanzhalah memenuhi panggilan Rasulullah ﷺ, begitulah seharusnya seorang mukmin memenuhi panggilan Rabb-nya, tanpa tunda, tanpa alasan, tanpa pamrih.
Penutup
Ketika kita thawaf di sekitar Ka‘bah, sa‘i antara Shafa dan Marwah, atau mencium Hajar Aswad, sadarlah; semua itu bukan sekadar gerak tubuh, tapi pengakuan hati: bahwa kita ini hamba, dan Allah satu-satunya yang disembah.
Ibadah di Tanah Suci adalah jihad ruhani; perjuangan menundukkan nafsu, melawan malas, dan menjaga ikhlas.
Tidak semua jihad dengan pedang; sebagian dilakukan dengan air mata di mihrab, langkah di thawaf, dan doa di malam yang sunyi.
Hanzhalah رضي الله عنه mengajarkan bahwa kemuliaan bukan pada panjang umur, tapi pada keikhlasan menjawab panggilan Allah. Maka jadikanlah umrah ini sebagai bukti bahwa kita menjawab seruan-Nya dengan sepenuh hati.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ إِذَا سَمِعُوا النِّدَاءَ أَجَابُوا، وَإِذَا دُعُوا إِلَى الْخَيْرِ لَبَّوْا، وَإِذَا نُودُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا
“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang apabila mendengar panggilan (untuk taat kepada-Mu) mereka segera menjawabnya, apabila diajak kepada kebaikan mereka segera memenuhinya, dan apabila diseru untuk shalat mereka langsung berdiri (menunaikannya).”
Wallahu a’lam bis showab ....
Sumber:
Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Barr, al-Istî‘âb fî Ma‘rifat al-Ashhâb, halaman 380–381, dengan sedikit penyesuaian.
Oleh: Abu Haneen
Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc
