Kitab Haji (Muqaddimah Seputar Haji)

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 03 Juni 2025, 09:34:39

Bab Pertama: Muqaddimah Seputar Haji

 

Poin Pertama: Definisi Haji

Secara bahasa (اللغة):

Haji (الحج) berarti القَصْد yaitu "menuju atau menyengaja".

Secara syariat (الشرع):

التَّعَبُّدُ لِلَّهِ بِأَدَاءِ الْمَنَاسِكِ فِي مَكَانٍ مَخْصُوصٍ فِي وَقْتٍ مَخْصُوصٍ، عَلَى مَا جَاءَ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم.

Haji adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik (ritual-ritual) tertentu di tempat yang telah ditentukan, pada waktu yang telah ditentukan, sebagaimana yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah ﷺ.

 

Poin Kedua: Hukum Haji dan Keutamaannya

1. Hukum Haji

Haji merupakan salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dalam agama ini, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ 

"Dan (diwajibkan) kepada manusia untuk (menunaikan) haji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu menempuh jalan ke sana. Dan barangsiapa yang kafir, maka sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. Āli ‘Imrān: 97)

Dan firman-Nya:

 وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah." (QS. Al-Baqarah: 196)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā:

(بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ...)

"Islam dibangun atas lima perkara...", dan disebutkan di antaranya adalah haji. (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Umat Islam telah berijma‘ (bersepakat) atas kewajiban haji sekali seumur hidup bagi setiap muslim yang mampu.

2. Keutamaan Haji

Terdapat banyak hadits tentang keutamaan haji, di antaranya:

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

"Umrah satu ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga." (HR. Muslim no. 1349)

Dan sabda beliau ﷺ:

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Barangsiapa berhaji karena Allah, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali (dari hajinya) seperti hari dilahirkan oleh ibunya." (HR. al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350)

Dan masih banyak lagi hadits lain yang menunjukkan besarnya keutamaan ibadah haji.

 

Poin Ketiga: Apakah Haji Wajib Lebih dari Sekali Seumur Hidup?

Haji tidak wajib dilakukan lebih dari sekali seumur hidup. Selebihnya adalah ibadah sunnah (tathawwu‘). Dalilnya:

Hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا

"Wahai manusia, sungguh Allah telah mewajibkan atas kalian ibadah haji, maka berhajilah kalian."

Lalu ada seorang laki-laki bertanya: "Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?"

Maka Nabi ﷺ menjawab:

لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

"Jika aku katakan 'ya', niscaya akan menjadi wajib, dan kalian tidak akan sanggup." (HR. Muslim no. 1337)

Nabi ﷺ sendiri hanya sekali berhaji setelah hijrah, yaitu pada Haji Wada‘ (Haji Perpisahan).

Dan para ulama juga sepakat (ijma‘) bahwa haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.

Maka seseorang wajib menyegerakan hajinya saat telah terpenuhi syarat-syaratnya, dan berdosa jika menunda-nunda tanpa uzur.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

"Segeralah berhaji, karena seseorang tidak tahu apa yang akan menimpanya (di kemudian hari)." (Diriwayatkan oleh Ahmad (1/314), dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Irwā’ al-Ghalīl no. 990.)

Catatan: Makna dari ما يعرض له adalah: "apa yang datang secara tiba-tiba atau terjadi padanya."

Dan diriwayatkan secara marfū‘ dan mauqūf dari berbagai jalur yang saling menguatkan:

مَنْ اسْتَطَاعَ الْحَجَّ فَلَمْ يَحُجَّ، فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا، وَإِنْ شَاءَ نَصْرَانِيًّا

"Barangsiapa yang mampu berhaji namun tidak melaksanakannya, maka hendaklah ia mati dalam keadaan —jika ia mau— sebagai Yahudi atau Nasrani." (HR. at-Tirmidzī, ad-Dārimī – dengan sanad yang saling menguatkan)

 

Poin Keempat: Syarat-Syarat Wajib Haji

Haji diwajibkan dengan lima syarat:

1. Islam

Haji tidak wajib atas orang kafir dan juga tidak sah darinya, karena Islam adalah syarat sahnya ibadah.

2. Berakal

Haji tidak wajib atas orang gila, dan juga tidak sah hajinya selama dalam keadaan gila.

Sebab akal merupakan syarat taklif (beban hukum). Orang gila bukan termasuk ahli taklif, dan pena (catatan amal) diangkat darinya hingga dia sadar kembali.

Sebagaimana dalam hadits Ali radhiyallāhu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ المَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ

“Pena (catatan dosa) diangkat dari tiga golongan: dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga ia sadar kembali.”

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4401, Ibnu Mājah no. 2041, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Irwā’ al-Ghalīl no. 297.)

3. Baligh

Haji tidak wajib atas anak kecil karena ia belum terkena taklif, dan pena juga diangkat darinya hingga ia baligh, sebagaimana hadits sebelumnya:

“...dan dari anak kecil hingga ia baligh.”

Namun, jika anak kecil melakukan haji, maka hajinya sah. Walinya yang meniatkan untuknya jika anak itu belum tamyiz (belum dapat membedakan).

Akan tetapi, haji tersebut tidak mencukupi dari kewajiban Haji Islam, dan ini tanpa khilaf di antara para ulama.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā:

أنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ صَبِيًّا، فَقَالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْر

"Seorang wanita mengangkat anak kecil dan berkata: Wahai Rasulullah, apakah anak ini mendapat pahala haji?" Beliau bersabda: 'Ya, dan engkau mendapat pahala juga.'" (HR. Muslim no. 1336)

Dan dalam hadits lain:

أيُّما صَبِيٍّ حَجَّ ثُمَّ بَلَغَ، فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى، وأيُّما عَبْدٍ حَجَّ ثُمَّ أُعْتِقَ، فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى

"Barang siapa dari anak kecil yang berhaji, kemudian ia baligh, maka ia wajib menunaikan haji lagi. Dan siapa saja dari budak yang berhaji lalu dimerdekakan, maka ia wajib haji lagi."

(Diriwayatkan oleh Imam asy-Syāfi‘i dalam Musnad-nya no. 743 sesuai dengan urutan as-Sindi, juga oleh al-Bayhaqi (5/179), dan disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwā’ al-Ghalīl no. 986.)

4. Merdeka

Haji tidak wajib atas hamba sahaya, karena ia milik orang lain dan tidak memiliki apa-apa. Namun, jika ia menunaikan haji dengan izin tuannya, maka hajinya sah.

Para ulama telah sepakat bahwa jika seorang budak berhaji ketika masih dalam status hamba, lalu ia dimerdekakan, maka ia tetap wajib menunaikan Haji Islam jika mampu, dan haji yang dilakukan saat menjadi budak tidak mencukupi dari haji yang diwajibkan atasnya setelah merdeka.

Hal ini berdasarkan hadis sebelumnya:

"...dan siapa saja dari budak yang berhaji lalu dimerdekakan, maka ia wajib haji lagi."

5. Mampu (Istithā‘ah)

Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا 

"Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana." (QS. Āli ‘Imrān: 97)

Orang yang tidak mampu secara finansial, seperti tidak memiliki bekal untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, atau tidak memiliki kendaraan yang dapat membawanya ke Mekkah dan kembali.

Atau tidak mampu secara fisik, seperti orang tua renta atau sakit berat, atau tidak mampu menanggung kesulitan perjalanan.

Atau tidak mampu secara keamanan, misalnya perjalanan ke haji tidak aman karena adanya perampok, wabah penyakit, atau hal-hal lain yang membahayakan jiwa dan harta, maka tidak wajib atasnya haji hingga ia mampu.

Sebagaimana firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286)

Kemampuan (istithā‘ah) adalah bagian dari "kesanggupan" yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Termasuk bentuk kemampuan dalam haji bagi wanita adalah adanya mahram yang menyertainya dalam perjalanan haji.

Karena tidak diperbolehkan bagi wanita untuk safar, baik untuk haji maupun selainnya, tanpa disertai mahram.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا، أَوِ ابْنُهَا، أَوْ زَوْجُهَا، أَوْ أَخُوهَا، أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا

"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian selama tiga hari atau lebih kecuali disertai oleh ayahnya, anaknya, suaminya, saudaranya, atau mahram darinya." (HR. Muslim no. 1340)

Dan sabda beliau ﷺ kepada seorang laki-laki yang berkata, “Istriku keluar untuk berhaji, sedangkan aku telah mendaftar dalam pasukan perang ini dan itu.”

انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَهَا

"Pergilah dan berhajilah bersamanya."

(Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)

Maka, jika wanita itu berhaji tanpa mahram, hajinya tetap sah, namun ia berdosa karena melanggar larangan syar‘i.

 

Poin Kelima: Hukum Umrah dan Dalil-dalilnya

Umrah hukumnya wajib bagi yang mampu satu kali seumur hidup, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada ‘Aisyah ketika ia bertanya:

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟

قَالَ: نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ: الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

“Apakah perempuan wajib berjihad?”

Beliau menjawab: “Ya, mereka wajib berjihad yang tidak ada peperangan di dalamnya: yaitu haji dan umrah.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad (6/165), Ibnu Mājah no. 2901, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahīh Sunan Ibni Mājah no. 2362.)

Juga sabda Nabi ﷺ kepada Abu Razin ketika ia berkata bahwa ayahnya tidak mampu berhaji maupun berumrah:

حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ

“Hajikanlah dan umrahkanlah untuk ayahmu.”

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1810, an-Nasā’i (5/111), Ibnu Mājah no. 2904 dan 2905, serta Ahmad (1/244); dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahīh an-Nasā’i no. 2473.)

Rukun-rukun umrah ada tiga:

  1. Ihram,
  2. Thawaf,
  3. Sa’i (antara Shafa dan Marwah).

 

Poin Keenam: Miqat Haji dan Umrah

Miqat secara bahasa adalah batas atau waktu.

Secara syariat, miqat adalah batas tempat atau waktu untuk melakukan suatu ibadah.

Miqat terbagi menjadi dua:

1. Miqat Zamani (Waktu) untuk umrah dan haji

Umrah: bisa dilaksanakan kapan saja sepanjang tahun, tidak terbatas waktu tertentu.

Haji: memiliki waktu-waktu tertentu yang tidak sah amal haji dilakukan di luar waktu tersebut.

Allah Ta’ala berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ

“(Waktu untuk) haji itu adalah bulan-bulan yang telah diketahui.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Yaitu: bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.

2. Miqat Makani (Tempat)

Yaitu batas-batas tempat yang tidak boleh dilampaui oleh orang yang ingin haji atau umrah, kecuali dalam keadaan sudah berihram. Nabi ﷺ telah menetapkan miqat-miqat ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas:

وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، فَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Rasulullah ﷺ menetapkan (batas miqat) bagi penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam adalah Juhfah, bagi penduduk Najd adalah Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam. Tempat-tempat itu berlaku bagi mereka dan juga bagi siapa saja yang melewatinya, bukan dari penduduknya, yang ingin haji atau umrah. Dan siapa yang berada di dalam batas tersebut, maka dari tempat ia memulai (perjalanan), hingga penduduk Makkah (ihramnya) dari Makkah.”

(Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181, dengan lafaz: "Tempat miqat penduduk Irak adalah Dzāt ‘Irq.")

Barangsiapa melewati miqat ini tanpa berihram, maka wajib kembali ke miqat untuk berihram. Jika tidak memungkinkan kembali, maka wajib membayar fidyah, yaitu:

Menyembelih seekor kambing di Makkah, dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin di Tanah Haram.

Bagi orang yang bertempat tinggal di dalam batas miqat, maka mereka berihram dari tempat tinggalnya, berdasarkan sabda beliau:

وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ

“Dan siapa yang berada di dalam (batas miqat tersebut), maka dari tempat dia memulai.”

 

 

Sumber: Kitab “Al-Fiqhu Al-Muyassar

Alih Bahasa: Miqdad Al Kindi, Lc.

Editor: Abu Haneen, Lc

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id