Jama’ Shalat dan Keadaan yang Membolehkan Menjama' Shalat

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 16 Juni 2025, 08:50:28

Bismillah, wasshalatu was salamu ala rasulillah, 

amma ba’du.

Dalam dinamika kehidupan sehari-hari, umat Islam sering dihadapkan pada situasi yang tidak memungkinkan melaksanakan shalat tepat waktu. Islam sebagai agama rahmat menawarkan solusi melalui syariat jama’ shalat, yaitu menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu. Artikel ini mengulas secara ilmiah dan praktis pengertian jama’, dasar hukumnya, serta kondisi-kondisi yang membolehkan pelaksanaannya seperti dalam safar, sakit, hujan, dan kondisi darurat lainnya.

 

Definisi Jama' Shalat Menurut Ulama

Secara bahasa:

"Jama’" (الجمع) berarti menggabungkan atau menghimpun dua hal dalam satu tempat atau waktu.

Secara istilah (istilah syar’i):

Menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu; baik pada waktu yang pertama (taqdim) maupun yang kedua (ta’khir), dengan sebab yang dibenarkan oleh syariat.

  • Imam Nawawi As-Syafi’i berkata: "Jama' adalah mengerjakan dua shalat dalam satu waktu disebabkan safar atau hujan, dengan syarat tertentu."
  • Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata: "Jama' dilakukan dalam dua bentuk: taqdim dan ta’khir, karena kebutuhan yang mendesak dan darurat."
  • Kesimpulan: Jama' adalah menggabungkan dua shalat fardhu pada satu waktu karena udzur seperti safar, hujan, atau sakit.

 

Hukum Asal Waktu Shalat 

Hukum asal shalat adalah dilaksanakan pada waktunya, dan inilah yang disebut dengan ʿazīmah (ketetapan hukum asal), berdasarkan firman Allah Ta‘ala:

 إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin.”

(QS. An-Nisā’: 103)

Adapun menjama' dua shalat karena hujan adalah rukhṣah (keringanan) yang dibolehkan syariat, karena kondisi tertentu sebagai bentuk kemudahan saat dijumpai kesulitan. Ini juga telah diriwayatkan dalam hadits shahih, seperti riwayat dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā:

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ

"Rasulullah ﷺ menjamak antara zhuhur dan ‘ashar, antara maghrib dan ‘isya’, tanpa ada rasa takut dan tidak dalam safar.”

(HR. Muslim)

Imam Mālik dalam al-Muwaṭṭa’ berkomentar: “Aku melihat bahwa itu dilakukan karena hujan.”

Demikian pula pendapat Imam Syāfi‘ī dalam al-Umm (1/94).

Jadi, menjama' shalat karena hujan bukanlah hukum asal, tetapi sebuah keringanan (rukhṣah).

Dan para ulama menyebutkan kaidah:

الرخص لا يلجأ إليها إلا بيقين

“Rukhṣah tidak diambil kecuali jika sebab dan syarat-syaratnya telah terpenuhi dengan yakin.”

Maka, jika syarat dan penyebabnya benar-benar terpenuhi, maka menjama' boleh dilakukan—tetapi tidak wajib. Namun jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi atau masih diragukan, maka tidak boleh menjama' dan wajib kembali ke hukum asal, yaitu melaksanakan shalat pada waktunya masing-masing.

Ini pula yang ditegaskan oleh para ulama bahwa:

“Barang siapa yang meninggalkan jama' dan tetap shalat pada waktunya, maka ia telah memilih ʿazīmah, dan itu lebih utama.”

Dan tidak boleh mencela orang yang tetap shalat di waktunya masing-masing walaupun sedang hujan, apalagi jika belum yakin terhadap terpenuhinya syarat jama'.

Imam Nawawī rahimahullah berkata:

“Rukhṣah-rukhṣah dalam syariat itu bertingkat-tingkat. Di antaranya ada yang wajib diambil, dan ada juga yang meninggalkannya lebih utama, seperti mengusap khuf (sepatu kulit), yang disepakati oleh madzhab kami bahwa membasuh kaki itu lebih utama. Demikian juga meninggalkan jamak antara dua shalat adalah lebih utama, berdasarkan kesepakatan.”

(al-Majmūʿ Syarḥ al-Muhadzdzab, 4/336)

Kesimpulan:

Menjama' dua shalat karena hujan diperbolehkan jika syaratnya terpenuhi, tapi bukan hukum asal. Justru hukum asalnya adalah menunaikan shalat tepat waktu, dan meninggalkan jama' karena memilih yang lebih hati-hati itu lebih utama serta tidak boleh dicela. 

 

Selanjutnya

Ada beberapa kondisi, dimana seorang muslim boleh menjama' shalatnya, dalam kitab-kitab fiqih (khususnya mazhab hambali) disebutkan kurang lebih sekitar 8 sebab yang membolehkan seorang mukallaf menjama' shalatnya.

📌 Dalam delapan tersebut yaitu:

1. Bagi musafir yang diperbolehkan meng-qashar (termasuk jama'ah haji/ umrah Indonesia), diperbolehkan menjama' antara dua shalat:

  • Zhuhur dan Ashar
  • Maghrib dan Isya

2. Orang sakit yang akan mengalami kesulitan dan kelemahan jika tidak menjamak.

Telah tetap kebolehan jama' bagi wanita istihadhah, dan istihadhah termasuk jenis penyakit.

Imam Ahmad berhujah bahwa sakit itu lebih berat dari safar.

Beliau (Imam Ahmad) pernah berbekam setelah Maghrib, lalu makan malam, dan menjama' antara keduanya (Maghrib dan Isya).

3. Ibu menyusui, karena kesulitan membersihkan najis yang sering, yakni kesulitan mencuci dari najis yang berulang tiap kali hendak shalat.

Abu al-Ma‘ali berkata: Ibu menyusui ini hukumnya seperti orang sakit.

4. Orang yang tidak mampu bersuci dengan air atau tayammum untuk tiap shalat, karena jama' diperbolehkan bagi musafir dan orang sakit karena adanya kesulitan, maka orang yang tak mampu bersuci juga dalam keadaan yang sama.

5. Orang yang tidak mampu mengetahui waktu, seperti orang buta atau yang terkurung di dalam tanah (seperti terjebak atau dikurung).

Pendapat ini disinggung oleh Imam Ahmad, disebutkan dalam kitab ar-Ri‘āyah dan dikuatkan dalam al-Insāf.

6. Wanita istihadhah dan yang semisalnya, seperti penderita silsil baul (inkontinensia urin), madzi, pendarahan hidung terus-menerus, dan sejenisnya.

Berdasarkan hadits Hamnah yang bertanya kepada Nabi ﷺ tentang istihadhah, di mana Nabi ﷺ bersabda:

“Jika engkau mampu menunda Dzuhur dan menyegerakan Ashar, lalu mandi dan shalat Dzuhur dan Ashar bersama-sama, kemudian menunda Maghrib dan menyegerakan Isya, lalu mandi dan menjama' antara keduanya, maka lakukanlah.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi menshahihkannya).

Maka penderita buang air terus-menerus dan semacamnya sama hukumnya.

7 & 8. Orang yang memiliki kesibukan atau udzur yang membolehkan meninggalkan shalat Jum'at dan berjamaah,

seperti takut akan keselamatan dirinya, kehormatan, atau hartanya, atau khawatir terganggunya penghidupan yang ia butuhkan jika tidak menjama', karena hujan atau angin kencang dan yang semisalnya.

(Kassyaful Qina’ (2/5), Al-Buhuti)

 

🟩 Kesimpulan:

  • Delapan kondisi tersebut membolehkan jama' antara Dzuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya. 
  • Hikmah dari disyariatkannya jama' adalah meringankan beban umat Islam (bukan menyepelekan).

 

Syariat Islam hadir sebagai rahmat bagi umat manusia. Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah memberikan keringanan (rukhshah) dalam ibadah, salah satunya melalui jama’ shalat. Tujuannya jelas: meringankan beban dan kesulitan yang dihadapi kaum Muslimin dalam kondisi tertentu seperti safar, sakit, hujan, dan keadaan darurat lainnya.

Allah berfirman:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

 

Namun, penting dipahami bahwa jama’ bukan untuk mempermudah orang yang malas, apalagi dijadikan kebiasaan tanpa uzur syar’i. Para ulama menegaskan:

"Jika tidak ada kesulitan, maka tidak boleh menjama'."

Ini menunjukkan bahwa jama’ adalah dispensasi luar biasa, bukan alternatif ibadah harian. Maka dari itu, mengamalkannya harus dengan niat yang ikhlas dan pemahaman yang benar, agar ibadah kita tetap berada di jalur yang lurus dan diridhai Allah ﷻ.

 

 

Sumber: Darul ifta’ yordania, fatawa syaikh Shalih Munajjid, Kassyaful Qina', dll.

Oleh: Abu Haneen, Lc & Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id