Batalkah Wudhu Karena Menyentuh Lawan Jenis?

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 21 Juni 2025, 09:44:14

Alhamdulillah, was shalatu was salamu ala Rasulillah, amma ba’du:

Bapak-Ibu jamaah yang dirahmati Allah,

Selama menjalankan umrah, kita tentu ingin menjaga wudhu dengan sebaik mungkin. Tapi bagaimana jika secara tidak sengaja menyentuh istri/ pasangan? Atau tersenggol oleh perempuan lain saat thawaf atau di Masjidil Haram?

Ulama sepakat:

  • Jika menyentuh dengan syahwat lalu keluar sesuatu (seperti mani atau madzi), wudhu batal.

Namun mereka berbeda pendapat soal:

  • Menyentuh tanpa syahwat,
  • Menyentuh anggota tubuh sensitif,
  • Atau mencium pasangan, karena ciuman termasuk jenis sentuhan yang lebih kuat.

Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat besar, yang akan disajikan dalam artikel ini.

 

Penegasan Letak Perselisihan:

Menyentuh perempuan secara langsung tanpa penghalang (kain) dan mencium, apakah hal ini membatalkan wudhu meski tanpa disertai syahwat?

1. Pendapat dan Nasabnya (Atribusi Ulama):

  • Imam Asy-Syafi’i: Menyentuh perempuan secara langsung, tanpa penghalang, dan mencium, semuanya membatalkan wudhu, meski tanpa syahwat.
  • Imam Malik dan Imam Ahmad: Menyentuh perempuan dengan syahwat membatalkan wudhu, demikian pula mencium, meski tanpa syahwat.
  • Imam Abu Hanifah: Tidak wajib wudhu karena menyentuh perempuan.

2. Sebab Perbedaan Pendapat:

Adanya perbedaan makna kata "lamasa" (لَمَسَ) dalam bahasa Arab yang digunakan dalam firman Allah ﷻ:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

"Atau kamu telah menyentuh perempuan."

(QS. Al-Mā'idah: 6)

 

3. Dalil-dalil masing-masing pendapat:

Pendapat pertama: Menyentuh perempuan secara langsung, tanpa penghalang, dan mencium, semuanya membatalkan wudhu, meski tanpa syahwat. (pendapat Syafi’iyyah), dalil-dalil mereka:

  • Firman Allah Ta’ala:

 أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

"Atau kamu telah menyentuh perempuan"

(QS. Al-Mā’idah: 6)

Maknanya adalah menyentuh dengan tangan, dan ini termasuk bentuk lafadz umum yang tetap dimaknai secara umum. Maka tidak disyaratkan harus dengan syahwat.

  • Kata "lamasa" (لَمَسَ) secara hakikat berarti menyentuh dengan tangan, dan bisa juga dipakai secara majaz untuk jima' (hubungan badan). Karena terjadi keraguan antara makna hakikat dan majaz, maka makna hakikat lebih utama untuk dijadikan dasar.
  • Ibnu Umar رضي الله عنه berkata:

مَنْ قَبَّلَ امرأته أو جَسَّها فعليه الوُضوء

"Barang siapa mencium istrinya atau menyentuhnya (dengan tangan), maka wajib baginya untuk berwudhu."

(HR. Malik dan Muwatho’ dan diriwayatkan pula dari Ibnu Mas‘ūd, diriwayatkan oleh al-Bayhaqi)

Disbeutkan dalam "Hāsyiyah al-Bujayrimī" (1/211), karya Syaikh Sulaymān ibn ‘Umar al-Bujayrimī (1221 H):

"Ketahuilah bahwa menyentuh (perempuan) membatalkan wudhu dengan lima syarat:"

  1. Bahwa yang bersentuhan adalah dua orang yang berbeda jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.
  2. Terjadi sentuhan antara kulit (bukan rambut, gigi, atau kuku).
  3. Tanpa ada penghalang (seperti kain atau sarung tangan).
  4. Keduanya sudah mencapai usia yang secara umum menimbulkan syahwat.
  5. Tidak ada hubungan mahram antara keduanya.”

Kesimpulan: Wudhu batal secara mutlak karena menyentuh atau mencium perempuan.

 

Pendapat kedua: Menyentuh perempuan dengan syahwat membatalkan wudhu, demikian pula mencium, meski tanpa syahwat. (Imam Malik dan Imam Ahmad) dalil-dalil mereka:

  • Firman Allah Ta’ala:

 أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

Maknanya adalah menyentuh dengan tangan, dan ini termasuk bentuk lafaz umum yang maksudnya khusus, yaitu menyentuh dengan syahwat.

  • Hadits Aisyah رضي الله عنها:

كان ﷺ يُلامِسُ بيده عند سُجوده

"Nabi ﷺ menyentuhku dengan tangannya ketika sujud."

  • Aisyah melanjutkan: 

كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي

"Aku tidur di depan Nabi ﷺ dan kedua kakiku mengarah ke kiblat. Ketika beliau sujud, beliau menyenggolku lalu aku menarik kakiku."

(Muttafaq ‘Alaihi)

Disebutkan dalam kitab-kitab Hambali seperti: "Ḥāsyiyat ad-Dusūqī" (1/411), "Syarḥ Muntahā al-Irādāt" (1/73), dan "al-Mughnī" karya Ibn Qudāmah (1/142): 

“Sentuhan yang membatalkan wudhu adalah pertemuan kulit dengan kulit yang disertai syahwat, dan inilah yang dimaksud dalam ayat yang mulia.

Adapun sekadar bersentuhan tanpa syahwat, seperti yang terjadi pada ‘Aisyah رضي الله عنها dalam dua hadits yang telah disebutkan sebelumnya, maka itu tidak membatalkan wudhu."

Kesimpulan: Wudhu batal hanya jika menyentuhnya dengan syahwat, atau menciumnya (karena menicum pasti dengan syahwat)

 

Pendapat ketiga: Tidak wajib wudhu karena menyentuh perempuan. (Mazhab Hanafi) dalil-dalil mereka:

  • Firman Allah Ta’ala:

 أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ 

Maknanya adalah jima' (hubungan badan).

  • Hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:

كان ﷺ يُلامِسُ بيده عند سُجوده

"Nabi ﷺ menyentuhku dengan tangannya ketika sujud."

(Dalam riwayat lain: "Aku tidur di depan Nabi ﷺ dan kedua kakiku mengarah ke kiblat. Ketika beliau sujud, beliau menyenggolku lalu aku menarik kakiku.")

(HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Darimi. Dikuatkan oleh sebagian ulama dan dilemahkan oleh sebagian lainnya).

  • Hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:

أن النبي ﷺ قبّل بعض نسائه، ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضّأ

"Bahwa Nabi ﷺ mencium salah satu istrinya, kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu."

As-Sarakhsi رحمه الله (salah satu ulama mazhab Hanafi w: 483 H) dalam al-Mabsūṭ (1/121) berkata:

"Tidak wajib berwudhu karena mencium atau menyentuh perempuan, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat."

Ini adalah pendapat resmi dalam madzhab Hanafiyyah, yang menolak pendapat bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu, baik dengan syahwat maupun tidak. Menurut mereka, tidak ada nash yang jelas dan tegas yang menjadikan sentuhan sebagai pembatal wudhu, selama tidak keluar sesuatu dari kemaluan.

Kesimpulan: Wudhu tidak batal sama sekali karena menyentuh atau mencium perempuan, kecuali jika keluar sesuatu (seperti mani atau madzi).

 

Pendapat Beberapa Ulama

  • Pendapat Ibnu Taimiyyah رحمه الله

Ibnu Taimiyyah tidak mewajibkan wudhu hanya karena menyentuh perempuan, kecuali jika diiringi syahwat dan menyebabkan keluarnya sesuatu (seperti madzi atau mani). Beliau termasuk yang menolak pendapat Imam Syafi’i yang menganggap menyentuh perempuan secara mutlak membatalkan wudhu.

📘 Rujukan:

Majmū‘ al-Fatāwā (21/236):

مجرّد اللّمس لا ينقض الوضوء، لا مسّ المرأة ولا غيرها، لا مع الشهوة ولا بدونها، إلا أن يخرج منه شيء

"Hanya menyentuh tidak membatalkan wudhu, baik menyentuh wanita atau lainnya, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika keluar sesuatu darinya."

🧭 Kesimpulan:

Ibnu Taimiyyah berpandangan: menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu, kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluan.

 

  • Pendapat Syaikh al-‘Utsaimin رحمه الله

Syaikh Ibn ‘Utsaimin sejalan dengan Ibnu Taimiyyah. Beliau termasuk yang menolak pendapat Syafi‘iyyah bahwa menyentuh perempuan secara langsung tanpa penghalang membatalkan wudhu, walaupun tanpa syahwat.

📘 Rujukan:

Syarh al-Mumti‘ (1/251):

المسُّ لا ينقض الوضوء مطلقًا، لا مع الشهوة ولا بدونها، إلا أن يحصل منه إنزال أو خروج مذي

"Menyentuh tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, kecuali jika menyebabkan keluarnya mani atau madzi."

🧭 Kesimpulan:

Syaikh al-‘Utsaimin menegaskan:

Tidak batal wudhu karena menyentuh perempuan, Kecuali jika terjadi keluar sesuatu.

 

Catatan Tambahan

Mereka berdua menguatkan pendapat ini berdasarkan:

  • Perilaku Nabi ﷺ yang menyentuh istri beliau (Aisyah) saat shalat dan tidak berwudhu lagi.
  • Kaidah umum: asalnya wudhu tetap sah hingga ada dalil yang sah dan sharih (jelas) menunjukkan batalnya.
  • Tafsir "lamastum" dalam QS. Al-Ma’idah:6 = jima‘, bukan sentuhan biasa.

 

Rangkuman Pendapat:

Screenshot_20250621-093456.jpg

 

Epilog: Menjaga Wudhu di Tanah Suci, Antara Syariat dan Ketenangan Hati

Bapak-Ibu yang dirahmati Allah,

Dalam suasana ibadah umrah yang penuh berkah ini, kita tentu ingin semua amal diterima, semua langkah dicatat, dan semua gerakan mendekatkan diri kepada Allah. Termasuk ketika menyentuh pasangan kita, atau tersenggol jamaah lain di tengah lautan manusia, terkadang tanpa bisa dihindari.

Di antara banyak pendapat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, dua ulama besar yang sangat mengakar dalam ilmu dan bijak dalam fatwa, menyampaikan:

"Tidaklah wudhu itu batal hanya karena menyentuh perempuan, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika keluar sesuatu (seperti madzi atau mani)."

Mereka berdalil dengan perbuatan Nabi ﷺ, yang menyentuh istri beliau dalam shalat, tanpa wudhu ulang. Mereka juga memegang kaidah:

"Asal ibadah itu sah, sampai ada dalil yang sah dan jelas membatalkannya."

📌 Maka bagi Bapak-Ibu yang mengambil pendapat ini, tidak perlu was-was atau ragu. Fokuslah pada kekhusyukan, pada keikhlasan, dan pada makna umrah sebagai bentuk taubat dan penghambaan.

Namun, bila tetap memilih pendapat yang lebih hati-hati (misalnya wudhu ulang setelah menyentuh), maka itu pun baik sepanjang tidak memberatkan diri atau orang lain.

🌿 "Dan Agama Ini Mudah"

Islam bukanlah beban, tapi bimbingan.

Bukan tekanan, tapi tuntunan.

Bukan untuk memberatkan, tapi untuk menyelamatkan.

Allah Ta‘ala berfirman:

 يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ 

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”

(QS. Al-Baqarah: 185)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

إن الدين يُسر، ولن يُشاد الدين أحدٌ إلا غلبه، فسدّدوا وقاربوا وأبشرو

"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama, kecuali ia akan dikalahkan olehnya. Maka bersikap luruslah, mendekatlah (kepada kebenaran), dan bergembiralah."

(HR. al-Bukhari no. 39)

📌 Maka jangan merasa tertekan dalam ibadah.

Jangan menjadikan was-was sebagai ghirah.

Dan jangan takut memilih kemudahan yang datang dari ilmu dan dalil.

Karena kemudahan dalam Islam bukan kelonggaran tanpa batas, tapi ia adalah rahmat dari Rabb yang tahu batas kemampuan hamba-hamba-Nya.

Semoga Allah menerima amal kita, memudahkan setiap langkah kita, dan memulangkan kita dalam keadaan bersih dari dosa, sebagaimana bersihnya bayi yang baru dilahirkan.

 

Wallahu ta’la A’lam bis showab.

Sumber: 

Jadwal bidayatul mujtahid – Dr. Dzahir Fakhri Ad-Dzahir

Hasiyah Bujairimi

Hasiyah Dasuqi

Syarḥ Muntahā al-Irādāt" (1/73)

Al-Mughnī karya Ibn Qudāmah (1/142)

Al-Mabsuth – As-Sarakhsi

Majmu’ fatawa ibnu taimiyyah

Syarhul Mumti’ ibnu Utsaimin.

 

Oleh: Abu Haneen & Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id