Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat Wajib (secara total)

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 25 Juli 2025, 14:14:20

Bismillah, alhamdulillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, amma ba’du ....

 

Shalat adalah tiang agama, pondasi utama dalam kehidupan seorang Muslim. Dalam setiap rakaat, terdapat pengakuan tauhid, penghambaan, dan penyucian jiwa dari kotoran dunia. Maka tak heran jika para ulama terdahulu menaruh perhatian yang besar terhadap perkara shalat, terlebih lagi terhadap siapa saja yang meninggalkannya.

Artikel ini menyelami salah satu topik yang krusial dalam fikih dan akidah Islam, yakni hukum orang yang meninggalkan shalat. Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya, namun kebenaran tetap satu, dan jalan penentu keputusan adalah merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Inilah prinsip utama yang ditanamkan dalam tradisi keilmuan Islam yang otentik.

Tulisan ini bukan semata menguraikan perbedaan pendapat, melainkan mengajak pembaca untuk merenungi betapa besarnya kedudukan shalat, dan bahaya besar yang mengintai siapa saja yang melalaikannya. Semoga menjadi peringatan bagi yang lupa, penguat bagi yang lemah, dan hujjah yang jelas bagi yang mencari kebenaran.

Masalah meninggalkan shalat wajib termasuk salah satu masalah besar dalam ilmu (agama), dan telah menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama terdahulu maupun belakangan.

  • Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

تارك الصلاة كافر كفرًا مخرجًا من الملة، يقتل إذا لم يتب ويصل

“Orang yang meninggalkan shalat wajib (secara total) adalah kafir, kekafiran yang mengeluarkannya dari agama (Islam). Ia harus dibunuh jika tidak mau bertobat dan shalat.”

  • Sedangkan Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berkata:

فاسق ولا يكفر

“Ia adalah fasik, tetapi tidak kafir.”

Kemudian mereka pun berbeda pendapat lagi:

  • Malik dan Syafi’i berkata:

يقتل حدًّا

“Dibunuh sebagai hukuman had.”

  • Sementara Abu Hanifah berkata:

يعزَّر ولا يُقتل

“Diberi hukuman ta’zir (hukuman yang ditentukan hakim), tidak sampai dibunuh.”

Dan karena permasalahan ini termasuk perkara yang diperselisihkan, maka wajib untuk dikembalikan kepada Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisih padanya, maka hukumnya (dikembalikan) kepada Allah.”

(QS. Asy-Syūrā: 10)

Dan firman-Nya:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya.”

(QS. An-Nisā’: 59)

Sebab, setiap orang yang berselisih tidak bisa dijadikan hujjah (argumen) terhadap pihak lainnya, karena masing-masing meyakini bahwa kebenaran ada pada pihaknya. Maka tidak layak salah satunya lebih didahulukan dari yang lain, sehingga wajiblah untuk merujuk pada hakim di antara mereka berdua, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul ﷺ.

 

Jika kita kembalikan perselisihan ini kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka kita dapati bahwa keduanya menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, yaitu kekafiran besar (akbar) yang mengeluarkannya dari Islam.

1. Dalil Al-Qur’an

  • Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian dalam agama.”

(QS. At-Taubah: 11)

  • Dan firman-Nya:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴿٥٩﴾ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

“Maka datanglah setelah mereka generasi yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal shalih. Maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dizalimi sedikit pun.”

(QS. Maryam: 59–60)

Petunjuk dari ayat kedua – yakni ayat dari Surah Maryam – adalah bahwa Allah menyebut orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ

“Kecuali orang yang bertobat dan beriman”

Ini menunjukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat, mereka bukanlah orang-orang yang beriman.

Adapun petunjuk dari ayat pertama – ayat dari Surah At-Taubah – bahwa Allah mensyaratkan tiga hal agar seseorang layak disebut sebagai saudara seiman bagi kita (yakni kaum Muslimin):

  1. Bertobat dari kesyirikan.
  2. Mendirikan shalat.
  3. Menunaikan zakat.

Jika mereka hanya bertobat dari syirik, namun tidak mendirikan shalat dan tidak menunaikan zakat, maka mereka bukan saudara seiman bagi kita. Bahkan jika mereka hanya mendirikan shalat tanpa menunaikan zakat, maka tetap bukan saudara seiman.

Dan persaudaraan dalam agama tidaklah hilang kecuali ketika seseorang keluar dari agama secara keseluruhan. Maka, persaudaraan itu tidak gugur hanya karena kefasikan atau kekufuran yang tidak sampai mengeluarkan dari Islam (kufrun dūna kufr).

Tidakkah engkau perhatikan firman Allah Ta‘ala dalam ayat tentang qishash:

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

“Barang siapa mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang berhak dengan cara yang baik pula.”

(QS. Al-Baqarah: 178)

Allah menjadikan pembunuh dengan sengaja itu sebagai saudara dari korban (yang dibunuh), padahal pembunuhan dengan sengaja adalah salah satu dosa besar yang paling besar, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.”

(QS. An-Nisā’: 93)

Kemudian, tidakkah engkau juga memperhatikan firman Allah Ta‘ala tentang dua kelompok kaum mukminin yang saling berperang:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika dua golongan dari kaum mukminin saling berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”

Hingga firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُم

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu.”

(QS. Al-Ḥujurāt: 9–10)

Allah menetapkan adanya persaudaraan antara kelompok yang mendamaikan dan dua kelompok yang bertikai, padahal memerangi orang mukmin termasuk salah satu bentuk kekufuran, sebagaimana telah tetap dalam hadits yang shahih, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya, dari Ibnu Mas‘ud رضي الله عنه bahwa Nabi ﷺ bersabda:

سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر

“Mencela sesama Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.”

(HR. al-Bukhari No. 48 dan Muslim No. 64)

Namun itu adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam, sebab jika ia mengeluarkan dari Islam, tentu tidak akan ada lagi persaudaraan iman dengannya, sementara ayat tersebut secara tegas menunjukkan bahwa persaudaraan keimanan tetap ada meski terjadi pertikaian.

Dengan ini jelaslah, bahwa meninggalkan shalat adalah bentuk kekufuran yang mengeluarkan dari agama (kufrun akbar). Sebab jika ia hanya merupakan kefasikan atau kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam, maka persaudaraan agama tidak akan gugur karenanya, sebagaimana tidak gugur akibat membunuh atau saling memerangi sesama mukmin.

 

2. Dalil dari Sunnah

  • Hadis dari Jābir bin ‘Abdillah رضي الله عنه:

قال ﷺ: إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya antara seorang laki-laki dan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan shalat.”

(HR. Muslim, dalam Kitāb al-Īmān, dari Jabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه)

  • Hadis dari Buraidah bin al-Ḥuṣaib رضي الله عنه:

قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر

Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Maka barang siapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah kafir.”

(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Makna kekufuran dalam kedua hadis ini adalah:

Kekufuran yang mengeluarkan dari agama (kufrun akbar). Sebab, Nabi ﷺ menjadikan shalat sebagai pemisah antara kaum mukminin dan orang-orang kafir. Dan telah dimaklumi bahwa agama kekafiran bukanlah agama Islam. Maka siapa yang tidak menunaikan perjanjian ini (yakni shalat), maka ia termasuk dari golongan orang kafir.

  • Hadis dari Ummu Salamah رضي الله عنها:

قال ﷺ: ستكون أمراء، فتعرفون وتنكرون، فمن عرف برئ، ومن أنكر سلم، ولكن من رضي وتابع. قالوا: أفلا نقاتلهم؟ قال: لا ما صلوا

Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan ada para pemimpin yang kalian kenali (kebaikannya) dan kalian ingkari (keburukannya). Maka siapa yang mengenali (keburukannya) dia terbebas, dan siapa yang mengingkari, dia selamat. Akan tetapi, siapa yang ridha dan mengikuti, maka ia berdosa.” Para sahabat bertanya: “Apakah kami boleh memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat.”

(HR. Muslim)

  • Hadis dari ‘Auf bin Mālik رضي الله عنه:

قال النبي ﷺ: خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم

Nabi ﷺ bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian...”

(HR. Muslim)

 

Penjelasan dan Kesimpulan:

Dalam dua hadis terakhir ini, terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya memerangi para penguasa dengan pedang (secara fisik) jika mereka tidak menegakkan shalat.

Adapun hukum asalnya, tidak boleh membangkang atau memerangi para pemimpin kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata (kufrun bawāḥ), yang kita memiliki bukti dari Allah tentangnya. Sebagaimana hadis dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit رضي الله عنه, beliau berkata:

دعانا رسول الله ﷺ فبايعناه، فكان فيما أخذ علينا، أن بايعنا على السمع والطاعة، في منشطنا ومكرهنا، وعسرنا ويسرنا، وأثرة علينا، وألا ننازع الأمر أهله. قال: إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم من الله فيه برهان

“Rasulullah ﷺ memanggil kami lalu kami membai’at beliau. Di antara yang beliau ambil dari kami dalam bai’at tersebut adalah bahwa kami harus mendengar dan taat dalam keadaan semangat maupun tidak, dalam kesulitan maupun kemudahan, bahkan ketika ada perlakuan tidak adil terhadap kami, dan tidak boleh membangkang terhadap penguasa. Beliau bersabda: ‘Kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata (bawāḥ), yang kalian memiliki bukti dari Allah mengenainya.’”

(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, meninggalkan shalat, yang Nabi ﷺ kaitkan dengan bolehnya memberontak dan memerangi penguasa, merupakan bentuk kekufuran nyata (kufrun bawāḥ) yang kita miliki dalil dari Allah tentangnya.

 

Penegasan Penting:

Tidak ada satu pun ayat dalam al-Qur’an atau hadits Nabi ﷺ yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat wajib (secara total) itu bukan kafir, atau bahwa dia tetap beriman.

Paling tinggi yang ada hanyalah nash-nash yang menyebutkan keutamaan tauhid, kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta pahala dari hal itu. Namun:

Teks-teks tersebut terkadang datang dengan pembatasan yang tidak mungkin seseorang meninggalkan shalat jika ia memenuhinya.

Atau teks tersebut berlaku dalam kondisi tertentu, di mana seseorang dimaafkan jika meninggalkan shalat (misalnya: karena ketidaksadaran, pingsan, atau belum sampai dakwah).

Atau bersifat umum, dan yang umum harus dibawa kepada yang khusus, yaitu dalil-dalil yang menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.

Dan sebagaimana kaidah ushul fiqih:

"Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum."

 

Penutup

Meninggalkan shalat bukan perkara sepele. Ia bukan sekadar dosa besar, tetapi merupakan garis pemisah yang nyata antara Islam dan kekufuran, sebagaimana ditegaskan oleh dalil-dalil yang sahih dari al-Qur’an dan Sunnah. Dalam banyak riwayat, shalat disebut sebagai ‘perjanjian’ terakhir yang membedakan seorang Muslim dari seorang kafir. Maka, siapa yang meninggalkannya secara total, ia telah merobek ikatan keislamannya sendiri.

Di tengah perbedaan pendapat ulama, sikap adil menuntut kita untuk kembali kepada nash yang jelas. Dan ketika dalil-dalil menunjukkan bahwa meninggalkan shalat secara mutlak adalah kekufuran akbar yang mengeluarkan dari Islam, maka tidak layak bagi seorang Muslim untuk mengambil masalah ini dengan ringan, atau membela kebiasaan buruk yang bertentangan dengan inti agama.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi yang lalai, dan penguat bagi yang istiqamah. Marilah kita jaga shalat kita, karena dengannya hidup menjadi berarti, dan tanpanya agama kehilangan ruhnya.

 

 

Wallahu ta’la a’lam bis showab …

Sumber:

Hukmu tariki as-sholah karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id