Bolehkah Mengulang Umrah dari Tan’im Setelah Selesai Umrah dalam satu safar?

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 26 Juli 2025, 10:22:37

Bismillah, was shalatu was salamu ala Rasulillah, amma ba’du:

 

Pertanyaan yang sering muncul di kalangan jamaah umrah:

“Jika seseorang datang ke Makkah untuk menunaikan umrah, apakah boleh baginya — setelah menyelesaikan umrahnya — untuk kembali melaksanakan umrah lagi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain? Misalnya, ia keluar ke Tan’im, lalu berihram dan kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan umrah.”

Pertanyaan ini sangat relevan, terutama bagi para jamaah yang ingin memaksimalkan ibadah selama berada di tanah suci. Wajar jika setelah menyelesaikan umrah wajib atau haji, ada dorongan kuat untuk kembali menunaikan umrah, baik sebagai bentuk kecintaan terhadap ibadah ini, maupun sebagai bentuk bakti, misalnya meniatkan umrah atas nama orang tua atau kerabat yang telah wafat.

 

Hukum Mengulang Umrah dalam Musim yang Sama

Para ulama Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa mengulang umrah dalam satu musim atau waktu yang berdekatan adalah boleh, dan bahkan disunnahkan oleh sebagian ulama, selama tidak menyulitkan diri sendiri. Hal ini berdasar pada riwayat dari istri Nabi ﷺ, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang pernah meminta kepada Rasulullah ﷺ untuk menunaikan umrah setelah selesai dari haji. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan Abdurrahman bin Abi Bakr untuk mengantarkannya ke Tan’im agar ia berihram dari sana, kemudian kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan umrah.

Dalilnya:

:عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَنْ أُعْمِرَ عُمْرَةً، فَأَذِنَ لِي، فَخَرَجْتُ مَعَ أَخِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِلَى التَّنْعِيمِ، فَأَهْلَلْتُ بِالْعُمْرَةِ

Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha:

"Aku meminta kepada Rasulullah ﷺ untuk menunaikan umrah setelah haji, maka beliau mengizinkanku. Lalu Abdurrahman membawaku ke Tan'im, aku berihram dari sana lalu melakukan umrah."

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ini menjadi dasar bahwa mengulang umrah dengan cara keluar dari tanah haram menuju tanah halal (seperti Tan’im), lalu kembali dengan niat ihram adalah amalan yang disyariatkan.

Untuk Diri Sendiri atau Orang Lain?

Umrah setelah umrah boleh diniatkan:

  • Untuk diri sendiri,
  • Atau untuk orang lain (yang telah meninggal atau sakit dan tidak mampu melaksanakannya sendiri), asalkan seseorang sudah selesai dari umrah wajibnya.

Dalam hal ini, para ulama membolehkan bahkan menganjurkan menghadiahkan pahala ibadah umrah kepada orang lain seperti kepada orang tua, guru, atau kerabat tercinta yang sudah wafat.

Batasannya: Jangan Memaksakan Diri

Meski hukumnya boleh dan disunnahkan oleh sebagian ulama, para pembimbing ibadah selalu mengingatkan: jangan memaksakan diri. Melakukan umrah berkali-kali dalam waktu singkat bisa jadi memberatkan fisik, terutama bagi jamaah yang lanjut usia atau memiliki kondisi kesehatan tertentu.

Imam Nawawi rahimahullah berkata

“Jika seseorang tinggal di Makkah atau singgah di Makkah lantas berkeinginan untuk umrah, maka miqatnya adalah miqat terdekat. Inilah pendapat dari Imam Syafii. Para ulama Syafiiyah pun menyepakatinya. Para ulama Syafiiyah berpendapat bahwa cukup baginya untuk mencapai tanah halal walau hanya satu langkah dari arah mana saja selama itu sudah masuk tanah halal. Itu adalah miqat yang wajib. Adapun yang disunnahkan adalah mengambil miqat untuk umrah dari Ji’ronah. Karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berumrah dari Ji’ronah. Jika tidak bisa, maka lewat Tan’im karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kepada Aisyah untuk mengambil miqat dari Tan’im. Tan’im ini adalah miqat terdekat dari Baitullah. Jika tidak bisa pula, bisa mengambil miqat dari Hudaibiyyah. Karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam shalat di situ. Urutan miqat dari segi keutamaan adalah Ji’ronah, Tan’im, lalu Hudaibiyyah. Inilah yang disebutkan ulama Syafiiyah dan mereka menyepakatinya dan tidak ada ikhtilaf di dalamnya.” 

(Al-Majmu’, 7:211 dan lihat: Mughni Al-Muhtaj, 2:229)

Al-‘Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah  berkata:

يسنُّ الإكثار من العمرة، ولو في اليوم الواحد؛ إذ هي أفضل من الطواف على المعتمد

“Disunnahkan memperbanyak umrah walaupun dalam satu hari. Amalan tersebut lebih afdal daripada memperbanyak thawaf. Demikian pendapat mu’tamad (pendapat resmi dalam madzhab Syafii).”

(Al-Minhaj Al-Qawim)

Ibnu Qudamah Al-hanbali rahimahullah menyatakan bahwa:

Tidak ada ikhtilaf/ perbedaan mengenai bolehnya umrah bagi orang yang berada di Makkah untuk orang yang bermukim atau yang mendatangi Makkah.

Ibnu Qudamah berkata, “Siapa saja yang berada di Makkah, maka itu adalah miqat untuk haji. Jika ia ingin berumrah, maka hendaklah ia keluar menuju tanah halal. Kami tidak mengetahui ada perselisihan mengenai hal ini. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kepada ‘Abdurrahman untuk membantu Aisyah berumah dari Tan’im.” 

(Al-Mughni, 3:11)

 

Fatwa syaikh bin baz rahimahullah:

Tidak mengapa — alhamdulillah — jika seseorang datang untuk umrah atau haji, kemudian ia menunaikan haji atau umrah untuk dirinya sendiri, atau untuk orang lain, lalu ia ingin mengulang umrah lagi — baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain — maka tidak ada larangan dalam hal ini.

Namun, wajib mengambil miqat dari luar batas tanah haram (dari tempat halal) seperti Tan’im, Ji’ranah, atau tempat lainnya. Ia keluar ke sana, lalu berihram, kemudian masuk kembali ke Makkah, melakukan thawaf, sa’i, dan tahallul (memotong rambut). Boleh umrah itu diniatkan untuk dirinya sendiri, untuk orang yang telah meninggal dari keluarga atau orang yang dicintai, atau untuk orang yang sudah tua renta dan tidak mampu menunaikan umrah sendiri. Tidak masalah.

Dan inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha atas izin Nabi ﷺ, ketika beliau telah menunaikan umrah bersama Nabi ﷺ, lalu pada malam Al-Hashbah (malam 13 Dzulhijjah menuju malam 14), beliau meminta izin untuk melakukan umrah. Maka Rasulullah ﷺ mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya ‘Abdurrahman bin Abi Bakr untuk menemani beliau ke Tan’im, dan di sanalah beliau berihram, lalu kembali dan menunaikan umrah kedua dari dalam Makkah.

Sumber: fatwa syaikh bin baz no. 12595.

 

Pertanyaan Lanjutan:

Jika umrah pertama dan kedua semuanya untuk dirinya sendiri, apakah Anda mensyaratkan adanya jarak waktu tertentu di antara keduanya?

Jawaban Syaikh bin baz rahimahullah:

Tidak ada dalil yang menetapkan syarat waktu tertentu. Sebagian ulama memang memakruhkan jika dua umrah dilakukan terlalu dekat waktunya, tetapi pendapat ini tidak memiliki dasar dalil yang kuat.

Nabi ﷺ bersabda:

“Umrah ke umrah menjadi penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (Muttafaq ‘alaih)

Beliau tidak menetapkan jarak tertentu antara dua umrah, dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menunaikan umrah kedua kurang dari 20 hari setelah umrah pertamanya.

Beliau berihram untuk umrah di akhir bulan Dzulqa’dah dari Madinah, kemudian melakukan haji bersama Nabi ﷺ dalam keadaan qiran (menggabungkan haji dan umrah), karena ketika itu haid mencegahnya dari menyempurnakan umrah lebih awal. Setelah menyelesaikan hajinya, beliau minta izin kepada Nabi ﷺ untuk menunaikan umrah secara terpisah karena merasa belum mendapat umrah sebagaimana yang lain, maka Nabi ﷺ pun mengizinkan dan beliau melakukannya.

Sumber: fatwa syaikh bin baz no. 12595.

 

Penutup 

Sebagai seorang Muslim yang merindu pahala dan ingin memaksimalkan ibadah di Tanah Suci, keinginan untuk memperbanyak umrah tentu hal yang wajar dan mulia. Namun, hendaknya kita tetap menimbang setiap amalan dengan neraca petunjuk Nabi ﷺ. Beliau adalah manusia paling taat dan paling tahu bagaimana cara beribadah yang benar, dan tidak diriwayatkan bahwa beliau mengulang-ulang umrah dalam satu safar kecuali karena ada sebab tertentu, seperti yang terjadi pada Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Fokuskan diri pada amalan yang pasti disyariatkan, seperti memperbanyak shalat di Masjidil Haram, membaca Al-Qur’an, berdoa, dan berdzikir — amalan yang langsung dijamin pahalanya oleh Rasulullah ﷺ. Jangan sampai semangat ibadah membuat kita justru terjatuh pada perkara yang tidak dicontohkan — bahkan oleh sebagian ulama seperti Syaikh Ibn ‘Utsaimin رحمه الله disebut sebagai bid‘ah dalam ibadah.

Kita mencontoh Nabi ﷺ, itu lebih selamat dan lebih diberkahi.

"وخير الهدي هدي محمد ﷺ" — Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.

 

 

 

Wallahu a’lam bis showab …

Sumber: 

Fatwa syaikh Bin Baz

Al-Majmu

Al-Minhaj Al-Qowim

Oleh: Abu Haneen 

Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc 

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id