Syarat-Syarat Sahnya Shalat
Bismillah, alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....
Shalat adalah ibadah yang memiliki kedudukan paling agung setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan penghubung antara hamba dan Rabb-nya, sekaligus indikator utama lurusnya akidah dan amal. Namun, sebagaimana ibadah lainnya, shalat tidak akan diterima tanpa memenuhi syarat-syarat sah yang telah digariskan syariat.
Tulisan singkat ini akan membahas secara ringkas dan padat mengenai sembilan syarat sah shalat, sebagaimana dijelaskan para ulama. Pemahaman terhadap syarat ini amat penting, sebab tanpa memenuhinya, shalat seseorang bisa saja tidak sah meskipun ia sudah berdiri, rukuk, dan sujud. Maka, marilah kita telaah bersama, dengan harapan semoga Allah menjadikan ilmu ini bermanfaat dan amalan kita diterima di sisi-Nya, aamiin.
1. Definisi Syarat Sah Shalat
"Syarat Sah Shalat" adalah hal-hal yang menjadi penentu sahnya shalat, karena syarat dalam bahasa (Arab) berarti: tanda, yakni tanda sah shalat. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا
"Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu itu melainkan datangnya Hari Kiamat kepada mereka secara tiba-tiba. Maka sungguh telah datang tanda-tandanya."
(QS. Muhammad: 18)
Adapun syarat dalam pengertian syar‘i, yaitu menurut istilah para ulama ushul fiqh:
“Sesuatu yang jika tidak ada, maka sesuatu yang tergantung padanya juga tidak ada. Namun jika syarat itu ada, belum tentu hal yang tergantung padanya ikut ada.”
2. Syarat-syarat Sah Shalat
Syarat sah shalat ada sembilan, yaitu:
1. Islam; Shalat tidak sah dari orang kafir, karena amal mereka tertolak.
2. Berakal; Tidak sah shalat dari orang gila karena tidak dikenai beban syariat (taklif).
3. Baligh; Anak kecil tidak wajib shalat sampai baligh (ditandai dengan mimpi basah untuk laki-laki, dan haid untuk perempuan), namun diperintahkan sejak usia 7 dan dipukul jika tidak shalat saat usia 10 tahun.
4. Suci dari Hadats Kecil dan Besar (dengan kemampuan).
Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci.” (HR. Muslim no. 224, dari Ibnu ‘Umar)
5. Masuknya Waktu Shalat.
Berdasarkan firman Allah تعالى :
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin.” (QS. an-Nisa: 103)
Dan juga Hadits Jibril saat mengimami Nabi ﷺ dalam dua waktu shalat, lalu berkata:
مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ
“Waktu shalat adalah antara dua waktu ini.” (HR. Ahmad 3/330 dan Abu Dawud)
Karena itu, banyak kewajiban lain dapat gugur demi menjaga waktu (shalat). Seorang muslim wajib menjaga agar shalatnya dilakukan dalam waktunya.
Allah telah menyebutkan waktu-waktu shalat secara global dalam Al-Qur’an, sementara Nabi ﷺ menjelaskannya secara terperinci dalam sunnah beliau.
(pembahasan detail tentang waktu-waktu sholat telah kami paparkan pada artikel sebelumnya)
6. Menutup Aurat (dengan kemampuan) hingga tidak nampak lagi warna kulit dibaliknya.
Sebagaimana firman Allah تعالى :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
"Wahai anak Adam, pakailah pakaian terbaik kalian setiap kali masuk masjid." (QS. Al-A’raf: 31)
Dan juga sabda Nabi ﷺ:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan khimar (kerudung).” (HR. Abu Dawud no. 627 dan Tirmidzi no. 375)
Aurat laki-laki baligh adalah bagian antara pusar hingga lutut, berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَلْيَلْتَفِفْ بِهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَلْيَأْتَزِرْ بِهِ
“Jika salah seorang dari kalian shalat hanya dengan satu kain, maka hendaklah ia membalutkan kain itu. Jika sempit, maka hendaklah ia memakainya sebagai sarung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dan lebih utama serta lebih sempurna jika laki-laki mengenakan sesuatu di atas pundaknya, karena Nabiﷺ melarang seorang laki-laki shalat dengan hanya satu kain tanpa ada sedikit pun di atas pundaknya.
Sedangkan wanita, seluruh tubuhnya adalah aurat dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Namun jika ia shalat di hadapan laki-laki non-mahram, maka wajib baginya menutupi seluruh tubuh, termasuk wajah dan telapak tangannya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita itu (seluruh tubuhnya) adalah aurat.” (HR. Tirmidzi no. 397)
Dan juga:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan memakai khimar.” (HR. Abu Dawud)
7. Suci dari Najis pada Badan, Pakaian, dan Tempat Shalat.
Berdasarkan firman Allah تعالى :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu sucikanlah.”
(QS. Al-Muddatsir: 4)
Dan juga sabda Nabi ﷺ:
تَنَزَّهُوا عَنِ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ
“Hati-hatilah kalian dari (najis) air kencing, karena mayoritas siksa kubur berasal darinya.” (HR. Daruquthni 1/97)
Juga sabda Nabi ﷺ kepada wanita yang terkena darah haid di pakaiannya, Nabi ﷺ bersabda:
تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Gosok bagian yang terkena darah itu, lalu cuci dengan air, lalu percikkan, kemudian shalatlah dengannya.” (HR. al-Bukhari no. 227)
Ketika seorang Arab badui kencing di masjid, Nabi ﷺ bersabda:
أَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
“Siramilah air kencingnya dengan satu ember air.” (HR. al-Bukhari no. 220)
8. Menghadap Kiblat (dengan kemampuan)
Berdasarkan firman Allah تعالى :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Dan juga sabda Nabi ﷺ:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ
“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu hadapkan wajahmu ke kiblat.” (HR. al-Bukhari no. 6251)
9. Niat
Tidak pernah gugur dalam kondisi apapun.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya semua amal tergantung pada niatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab)
Tempatnya di dalam hati, tidak disyariatkan dilafalkan dengan lisan. Nabi ﷺ tidak pernah mencontohkan mengucapkan niat, dan tidak pula para sahabat.
Pentingnya Menentukan Jenis Shalat (At-Ta'yīn)
Ketika seseorang hendak menunaikan shalat, ia wajib menentukan secara spesifik shalat apa yang akan ia kerjakan:
- Niat shalat Zhuhur harus disebutkan dalam hati sebagai shalat Zhuhur,
- Shalat Ashar harus diniatkan sebagai shalat Ashar,
- Begitu pula Maghrib, Isya, dan Subuh.
Tidak cukup dengan hanya berniat secara umum “saya mau shalat” tanpa penentuan jenisnya. Karena niat umum (yang bersifat global) tidak bisa menggantikan niat yang khusus (tertentu). Dalam kaidah ushul:
“Yang umum tidak mencakup yang khusus, tetapi yang khusus mencakup yang umum.”
Artinya:
Jika seseorang hanya berniat secara global “saya akan shalat”, maka itu tidak mencakup niat spesifik seperti shalat Zhuhur, sehingga shalatnya tidak sah. Sebaliknya, jika seseorang berniat dengan jelas “saya akan shalat Zhuhur”, maka itu secara otomatis mencakup makna niat shalat secara umum.
"Mari kita perbaiki shalat kita dari hal paling mendasar, yaitu syarat-syarat sahnya. Karena siapa yang memperbaiki pondasi, Allah akan memperbaiki bangunan amalnya. Semoga setiap rakaat yang kita tunaikan menjadi cahaya, naungan, dan penolong di hari yang tiada pertolongan selain dari-Nya."
Wallahu a’lam bis showab ....
Sumber:
Al-Fiqhu Al-Muyassar
Kitab Al-Fiqhu Al-Ibadat – Syiakh Utsaimin
Oleh: Abu Haneen
Team redaksi: Miqdad Al Kindi, Lc
