Hukum Membangun Kubah di Atas Kubur: Tinjauan Syariat dan Pandangan Ulama Salaf terhadap Kubah Hijau Masjid Nabawi

Kategori : Umrah, Ditulis pada : 20 Agustus 2025, 13:25:14

 

Bismillah, alhamdulilah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du ....

 

Sejak awal, Islam sangat menjaga kemurnian tauhid dan menutup rapat segala celah yang bisa mengarah pada kesyirikan. Salah satu bentuk penjagaan itu adalah larangan berlebihan dalam mengagungkan kuburan, termasuk membangun sesuatu di atasnya, baik berupa atap, kubah, masjid, padepokan ataupun semacamnya.

Dalam artikel ini akan dibahasa: Apakah membangun kubah di atas kubur itu dibenarkan dalam syariat? Apa pandangan para ulama salaf tentang hal ini? Dan bagaimana hukum khusus terkait Kubah Hijau yang begitu dikenal umat Islam di seluruh dunia? Apakah ada pengecualian dalam hal ini?

Artikel ini hadir untuk mengulas persoalan tersebut secara jujur dan proporsional, berdasarkan dalil, pendapat ulama, serta konteks historis dan realitas umat hari ini.

 

Larangan Membangun di Atas Kubur

Rasulullah ﷺ secara tegas melarang menjadikan kuburan sebagai tempat bangunan atau ritual ibadah. Beberapa hadits yang menjadi landasan:

  • Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah ﷺ melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di atasnya.”

(HR. Muslim no. 970)

  • Hadits dari Abu al-Hayyaj al-Asadi, Wasiat Ali bin Abi Thalib:

:عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيٌّ

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Dari Abu al-Hayyaj al-Asadi, ia berkata:

Ali berkata kepadaku:

“Jangan biarkan ada patung kecuali engkau hancurkan, dan kubur yang tinggi kecuali engkau ratakan.”

(HR. Muslim no. 969)

Hadits-hadits ini menjadi pijakan kokoh bagi mayoritas ulama salaf dalam melarang segala bentuk pembangunan permanen di atas kuburan, termasuk kubah, masjid, atau tugu peringatan.

 

Pandangan Ulama Salaf tentang Kubah di Atas Kubur

Para ulama terdahulu bersuara satu dalam mengingkari praktik membangun di atas kubur, karena hal itu membuka peluang terjadinya ghuluw (pengagungan berlebihan) dan syirik.

Imam An-Nawawi (w. 676 H) berkata:

قوله صلى الله عليه وسلم: "ولا تبنى عليه" فيه دليل لكراهة بناء المسجد وغيره على القبر، وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه، ونقل القاضي عياض عن جماعة كراهته، قال: وذهبت طائفة إلى أنه لا يجوز، وجماعة إلى أنه مكروه كراهة تنزيه، والصحيح عند أصحابنا أنه مكروه كراهة تنزيه، لأنه قد يصير ذريعة إلى اتخاذه وثناً كما جرى لكثير من الأمم الخالية

“Sabda Nabi ﷺ: “Dan jangan dibangun di atasnya (kubur).”

Dalam hadits ini terdapat dalil tentang makruhnya membangun masjid atau bangunan lain di atas kubur. Ini adalah mazhab Imam Syafi’i dan para pengikutnya.

Qadhi ‘Iyadh menukil bahwa banyak ulama juga memakruhkannya.

Sebagian ulama bahkan mengharamkannya, sedangkan sebagian lain menganggapnya makruh tanzih (tidak haram tapi sebaiknya ditinggalkan).

Dan pendapat yang kuat dalam mazhab kami (Syafi’iyyah) adalah: makruh tanzih, karena hal itu bisa menjadi perantara (wasilah) kepada pengagungan berlebihan hingga menyerupai berhala, sebagaimana yang terjadi pada banyak umat sebelum kita.”

(Syarh Muslim, 7/24)

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) berkata:

ولم يَبْنِ أحدٌ من الصحابةِ على قبرٍ، لا مسجدًا ولا غيره، ولا كانوا يُقصدون الصلاةَ عند القبور، ولا دعاءَ الله عندها، ولا الدعاءَ بها، بل هذا كُلُّه محدثٌ بعدهم. وقد اتفق أئمة الإسلام على أنه لا يُبْنَى بالقبور مساجد، ولا تُجصَّص، ولا تُبنى عليها قبابٌ

“Tidak ada satu pun sahabat yang membangun masjid atau bangunan lain di atas kubur, dan mereka juga tidak menjadikan kubur sebagai tempat shalat, tidak pula tempat berdoa kepada Allah, atau berdoa melalui perantaraan kubur itu.

Semua hal tersebut merupakan perkara yang diada-adakan setelah masa mereka (bid’ah).

Para imam Islam telah sepakat bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kubur, tidak boleh mengapurinya, dan tidak boleh membangun kubah di atasnya.”

(Majmu' al-Fatawa, 27/31)

 

Asal-usul Kubah Hijau Masjid Nabawi

  • Awalnya tidak ada kubah di atas makam Rasulullah ﷺ. Makam beliau berada di dalam rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
  • Tahun 678 H, Sultan Qalawun dari Mamluk membangun kubah kayu pertama sebagai pelindung atap. Dan beliau membangunnya tanpa melihat pendapat ulama yang melarang hal tersebut.
  • Tahun 1253 H (1837 M), Sultan Mahmud II dari Daulah Utsmaniyah mengecat kubah tersebut dengan warna hijau, dan sejak itu dikenal sebagai Kubah Hijau (القبة الخضراء).

Artinya, Kubah Hijau adalah bangunan tambahan belakangan, dan bukan dari sunnah Rasul ﷺ maupun para sahabat.

 

Hukum Kubah Hijau Menurut Para Ulama

  1. Tidak disyariatkan dan bertentangan dengan larangan Nabi ﷺ.
  2. Namun tidak boleh dicaci atau diruntuhkan sembarangan karena:
  • Telah menjadi bagian dari Masjid Nabawi dan simbol umat.
  • Dikhawatirkan menimbulkan fitnah dan kegaduhan besar di tengah kaum Muslimin.

 

Fatwa Syaikh Ibn Bāz: Kubah di Atas Makam Nabi ﷺ Adalah Bid'ah

“Tidak diragukan lagi bahwa kubah-kubah di atas kubur adalah bid’ah dan kemungkaran, sebagaimana halnya membangun masjid di atas kubur juga termasuk bid’ah dan kemungkaran. Hal ini berdasarkan hadits-hadits shahih dari Rasulullah ﷺ, di antaranya sabda beliau:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ 

“Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid.” 

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 435) dan Muslim (no. 531) dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah رضي الله عنها)

Juga sabda beliau:

أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَٰلِكَ

“Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid. Maka janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid, karena aku melarang kalian dari hal itu.”

(HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 532)

Selain itu, dari Jābir bin Abdillah dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi ﷺ melarang:

  • Melapisi (mengecat/plester) kuburan,
  • Duduk di atasnya,
  • Dan membangun di atasnya.

Nabi ﷺ secara tegas melarang pembangunan, pengecatan, dan duduk di atas kuburan. Maka, mendirikan kubah di atas kubur jelas termasuk dalam larangan ini. Demikian pula membangun masjid atau bangunan beratap dan berdinding termasuk jenis pembangunan yang terlarang.”

Kemudian beliau رحمه الله melanjutkan:

Bagaimana Seharusnya Kuburan Dibuat?

“Kubur harus tetap terbuka di atas tanah, sebagaimana kondisi kuburan di zaman Nabi ﷺ, seperti di Baqi’. Kubur ditinggikan sekitar satu jengkal dari permukaan tanah sebagai penanda agar tidak direndahkan, diinjak, atau diduduki.

Tidak boleh dibangun kubah, kamar, atau bangunan semacamnya di atasnya. Cukup ditinggikan sedikit dengan tanah hasil galian kuburannya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang Sa'd bin Abi Waqqash, bahwa beliau berkata:

“Galikan liang lahat untukku dan letakkan batu bata di atasku sebagaimana yang dilakukan terhadap Rasulullah ﷺ.”

Dalam riwayat lain:

“Maka kubur beliau ditinggikan dari tanah sekitar satu jengkal.” (yakni kubur Nabi ﷺ)”

Lantas, Mengapa Kubah di Atas Makam Nabi ﷺ Masih Dibiarkan?

“Kubah tersebut merupakan bangunan yang baru (muhdats), dibangun oleh sebagian penguasa Turki Utsmani pada abad ke-9 Hijriah.

Kenapa tidak dihilangkan?

Ada banyak sebab, antara lain:

  1. Kebodohan para pemimpin Madinah pada masa itu tentang hukum ini.
  2. Khawatir timbul fitnah, karena sebagian orang yang jahil bisa menuduh bahwa yang menghilangkan kubah membenci Nabi ﷺ, padahal tidak demikian.

Itulah sebabnya pemerintah Saudi — baik yang pertama maupun yang kini — membiarkannya, bukan karena menganggapnya boleh, tapi untuk menghindari fitnah besar dan tuduhan keji.

Pemerintah Saudi dan para ulamanya, seperti Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah, adalah para ulama yang berada di atas sunnah, mengikuti jalan para sahabat dan salaf dalam memurnikan tauhid, menjauhi syirik, menjauhi bid'ah, mengagungkan Nabi ﷺ secara syar'i, bukan dengan cara berlebihan atau melampaui batas.

Mereka menyeru umat: Untuk taat kepada Nabi ﷺ, Menghidupkan sunnah, Menolak syirik dan bid'ah, termasuk bid’ah membangun kubah di atas kubur Nabi ﷺ.”

“Kubah di atas makam Nabi ﷺ adalah bid'ah yang dibuat belakangan, tidak ada di masa sahabat, dan berdasarkan hadits-hadits shahih, tidak boleh membangun di atas kubur. Namun, penghapusannya ditunda karena mempertimbangkan kemaslahatan dan mencegah fitnah dari kalangan orang-orang awam dan pecinta bid'ah yang fanatik.

Dan Allah-lah sebaik-baik pelindung, dan Dia-lah sebaik-baik penolong.”

(Fatawa Syaikh Bin Baz no. 17513)

 

Kesimpulan

Membangun kubah di atas kubur hukumnya tidak disyariatkan, bahkan bertentangan dengan sunnah Nabi ﷺ.

Kubah Hijau di Masjid Nabawi bukan bagian dari ajaran Nabi ﷺ, melainkan produk sejarah dari kekuasaan setelahnya.

Para ulama salaf dan kontemporer menegaskan bahwa kubah seperti ini tidak boleh diagungkan, apalagi dijadikan tempat ibadah atau ritual.

Sikap bijak terhadap kubah hijau adalah tidak mengagungkannya secara ritual, namun juga tidak menimbulkan fitnah di tengah umat dengan tuntutan ekstrim.

“Yang harus kita muliakan adalah Nabi ﷺ, bukan bangunan di atas makam beliau. Kita agungkan sunnah beliau, bukan arsitekturnya.”

 

Wallahu a’lam bis showab.

 

 

Sumber

Syarah Shahih Muslim – imam Nawawi

Majmu’ fatawa – Ibnu Taimiyyah

Fatawa Syaikh Bin Baz no. 17513

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id